This site uses cookies.
Some of these cookies are essential to the operation of the site,
while others help to improve your experience by providing insights into how the site is being used.
For more information, please see the ProZ.com privacy policy.
This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations
This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
English to Indonesian: Language Renewal as Sites of Language Ideological Struggle The Need for “Ideological Clarification” by Paul V. Kroskrity, University of California at Los Angeles (A Research Journal) General field: Art/Literary Detailed field: Linguistics
Source text - English Though the work of language renewal properly focuses on the production of critical resources for purposes of documentation (e.g., grammars, dictionaries) and on activities of instruction and transmission (e.g., creating practical orthographies, indigenous language pedagogies), those who have engaged in these activities recognize, often too late, the fundamental need for dealing with “ideological
clarification”. This notion covers the conflicts of “beliefs, or feelings, about languages” (Kroskrity, 2004) that are the inevitable outcome of the interaction of indigenous, colonial, post-colonial, and professional academic perspectives. The differences between these points of view are displayed and even magnified by language renewal activities. I first became aware of this concept while reading the well-known behind-the-scenes study by Nora Marks Dauenhauer and
Richard Dauenhauer (1998) of their decades of experience working with various Tlingit, Haida, Tshimshian-speaking communities in Southeastern Alaska. They traced many of the difficulties and failures of these projects to noting that they, as language activists, had prematurely assumed that community members had achieved an “ideological clarification” that would provide unambiguous support to language renewal yet later discovered that there was little or no such
clarification. Instead they found a “broad gap between verbally expressed goals, on the one hand (generally advocating language and cultural preservation) and unstated but deeply felt emotions and anxieties on the other (generally advocating or contributing to abandonment)” (Dauenhauer & Dauenhauer, 1998, pp. 62-63)
My goal here is to affirm the importance of recognizing this language ideological dimension to language renewal activities and to further develop the concept of ideological clarification by linking it more explicitly to language ideological theory and practice (Schieffelin, Woolard & Kroskrity, 1998; Kroskrity,
2000a, 2004). Treating language renewal activities as “sites” (Silverstein, 1998a) for ideological struggles and as stages upon which differences in language beliefs and practices are often dramatically displayed, I focus on the necessity of recognizing and resolving ideological conflict that would impede local efforts at linguistic revitalization. Though theory guided, this chapter also draws on a comparative analysis of a variety of Native American communities as well as on my 25 years of linguistic documentation and language renewal research for the Western Mono communities of North Fork and Auberry in Central California and on very recent efforts to begin a linguistic revitalization project for the Arizona Tewa (Village of Tewa, First Mesa, Hopi Reservation) after conducting long term field work there. By so doing, I hope to demonstrate both the practical benefits of attending to this theoretical orientation and the fortified notion of ideological clarification that it enables.
Translation - Indonesian Meskipun kegiatan pembaharuan bahasa yang sesuai memfokuskan pada produksi sumber-sumber yang penting untuk tujuan dokumentasi (contoh: aturan ketatabahasaan, kamus) dan pada aktivitas-aktivitas dari instruksi dan penyaluran pesan (contoh: menciptakan pengejaan-pengejaan kata yang praktis, penelitian-penelitian pengajaran bahasa yang asli), mereka yang terlibat langsung dalam aktivitas-aktivitas ini mengakui, yang seringkali terlambat, kebutuhan dasar untuk mengacu pada “klarifikasi ideologi”. Gagasan ini mencakup konflik-konflik dari “pemikiran-pemikiran, atau pendapat-pendapat, tentang bahasa-bahasa” (Kroskrity, 2004) yang merupakan hasil yang tidak mungkin dihindari dari interaksi asli, pada masa kolonial, setelah masa kolonial, dan sudut pandang-sudut pandang akademik profesi. Perbedaan-perbedaan antara sudut pandang-sudut pandang ini ditampilkan dan bahkan dibesarkan oleh aktivitas-aktivitas pembaharuan bahasa. Saya memahami konsep ini pertama kali ketika membaca the well-known behind-the-scenes study oleh Nora Marks Dauenhauer and Richard Dauenhauer (1998) dari pengalaman mereka selama puluhan tahun bekerja dengan berbagai komunitas Tlingit, Haida, yang berbicara Tshimshian di bagian tenggara Alaska. Mereka menemukan banyak kesulitan-kesulitan dan kegagalan-kegagalan dari projek-projek ini untuk mencatat bahwa mereka, sebagai aktivis-aktivis bahasa, telah terlalu dini mengasumsikan bahwa semua anggota komunitas telah mendapatkan sebuah “klarifikasi ideologi” yang akan menyediakan dukungan yang jelas untuk pembaharuan bahasa sebelumnya yang kemudian ditemukan bahwa ada sedikit atau tidak ada pengklarifikasian seperti itu. Sebagai gantinya mereka menemukan sebuah “rentang yang luas antara tujuan-tujuan yang diekspresikan secara verbal, pada satu sisi (bahasa yang dipublikasikan secara umum dan pelestarian budaya) dan tidak ditetapkan tetapi dirasakan emosi-emosinya secara mendalam dan kecemasan-kecemasan pada sisi yang lain (pemublikasian dan penkontribusian secara umum untuk penanggulangan kegagalan)” (Dauenhauer & Dauenhauer, 1998, pp.62-63).
Tujuan saya disini adalah untuk meyakinkan betapa pentingnya mengenali dimensi ideologi bahasa untuk aktivitas-aktivitas pembaharuan bahasa dan untuk mengembangkan konsep dari klarifikasi ideologi kedepannya dengan mengaitkannya secara jelas pada teori ideologi bahasa dan prakteknya (Schieffelin, Woolard & Kroskrity, 1998; Kroskrity, 2000a, 2004). Memperlakukan aktivitas-aktivitas pembaharuan bahasa sebagai “situs” (Silverstein, 1998a) untuk perjuangan-perjuangan ideologi dan sebagai bagian dari proses dimana perbedaan-perbedaan dalam pemikiran-pemikiran bahasa dan latihan-latihan yang seringkali ditampilkan secara dramatis, saya memfokuskan pada keperluan dari pengenalan dan pemecahan konfllik ideologi yang akan menghambat usaha-usaha lokal pada revitalisasi linguistik.1 Melalui teori yang ditunjukkan, bagian ini juga menggambarkan pada sebuah analisa perbandingan dari satu varitas komunitas-komunitas orang asli Amerika begitu juga pada 25 tahun dokumen tasi politik dan penelitian pembaharuan bahasa saya untuk komunitas-komunitas tunggal negara-negara barat dari Fork Timur dan Auberry di pusat California dan usaha-usaha terkini untuk memulai sebuah projek revitalisasi bahasa untuk Tewa Arizona (Desa Tewa, Mesa Pertama, Reservasi Hopi) setelah menerapkan kerja lapangan dalam kurun waktu yang lama disana. Dengan demikian, saya berharap untuk mendemonstrasikan manfaat-manfaat praktis untuk kehadiran orientasi teori ini dan ide-ide yang diperkuat dari pengklarifikasian ideologi sehingga bisa terlaksana.
English to Indonesian: The Morning After by Lisa Jackson (A Novel) General field: Art/Literary Detailed field: Poetry & Literature
Source text - English PROLOGUE
Oh, God, it was cold... so cold...
Bobbi shivered. She was sluggish, could barely move, her mind groggy and dull. She wanted to sleep, to ignore the vague sense of uneasiness that teased at her mind. Her eyelids were heavy. As if she'd taken too many sleeping pills. An acrid odor reached her nostrils, something foul. She cringed and realized that her room was quiet. Still. Eerily so. No sound of the hall clock ticking off the seconds, or the fan from the furnace turning the air... no... the silence was deafening.
You're not in your room.
The thought hit her hard.
You're not in your bed.
She forced an eyelid open. She was... where?
The rancid smell made her gag. Slowly, her mind began to clear. Where the hell was she and why couldn't she move? Her lungs were tight, the air thin, the darkness complete. Panic shot through her blood as she realized she was lying on her back, wedged against something hard, slick fabric pressed against her nose.
It was dark. Airless. She had trouble drawing a breath. And that god-awful smell... She nearly retched.
This was wrong, all wrong.
She tried to sit up.
Bam!
Her head cracked against something hard and she couldn't move her arms. Not upward, not side to side. She was wedged tight in a small space, upon an uncomfortable bed ... no not a bed, something softer and spongier and squishy, with hard points poking upward against her back. And that horrendous, rotting smell. Fear, cold as death, shrieked through her thick brain. She was crammed into some kind of tight box.
And then she knew.
With sickening clarity.
She was stuffed into a coffin?
God, no! That was impossible! Unthinkable. Her mind was just clogged, that was all. And this claustrophobic paranoia was all part of some kind of weird, macabre dream. That was it. That had to be it. But her blood was pumping frantically through her body. Sheer terror sliced through her.
No, oh, no... please, no... this has to be a dream. Wake up, Bobbi. For God's sake, wake the hell up!
She screamed and the shriek resounded in her eardrums, going nowhere, bouncing in the tight airless space.
Think Don't panic! Oh, God, oh, God, oh, God.
Wildly she tried to kick upward, but her bare feet hit the hard surface, a toenail catching on the lining. It ripped backward. Raw pain seared up her foot and she could feel her nail hanging by a thread of flesh.
This couldn't be happening. It was a nightmare. Had to be. And yet... with all her might she tried to push, to climb out of this horrible confining space with its satin lining and... and... Jesus Christ, she was lying on something soft in places, hard in others, a ... a...
A body! You 're lying on a body!
"Noooooo! Please let me out!" She shredded the lining with her fingers, scratched, clawed and pounded, felt bones and rotting flesh and the bristle of hair against her bare skin ... bare skin ... dear God, was she naked? Shoved into this gruesome box without any clothes? Who had done this to her? Why? "Help! Please help me!" Her own screams echoed in her ears, ricocheting back at her. "Oh, God, oh, God ... please, someone." Jesus Christ, was she really lying on a dead person? Her skin crawled at the thought of the rotting flesh beneath her, the lipless mouth pressed against the back of her neck, the bony ribs and hands and...
Maybe it's still alive―just comatose like you were.
But she knew better. The once-live padding beneath her was cold as death and reeked and was probably already decomposing and... oh, please let this be a horrible, monstrous nightmare. Please let me wake up. She heard sobbing and realized the sounds escaped from her throat. Don'tpanic. Try to figure a way out of this... while you still have air. The fact that you 're breathing means that you were probably just dropped here. Just because you 're in a coffin doesn 't necessarily mean you're underground... But she smelled the dank earth, knew that this death box was already in a grave. It was only a matter of time before―
Snap out of it and figure a way out of this! You 're a smart woman, think! THINK! If you 're not buried, just trapped in here, there could still be time... But she knew the seconds were running out, each one bringing her closer to a macabre, unthinkable death. Please, God, don't let me die. Not like this... not... not like this.
"Help me! Help! HELP! she cried, shrieking and scratching wildly at the top of the coffin. She tore at the smooth satin lining, her long, manicured fingernails breaking, her skin ripping, sharp pain searing up the back of her hands. The stench was overwhelming, the air so cold and thin ... it had to be a dream ... had to. And yet the pain in her fingertips, the blood flowing under her nails convinced her that she was living a nightmare so evil she could barely imagine it.
Horror strangled her and she thought she might pass out. Screaming at the top of her lungs, she kicked, banging her knees and feet, her muscles cramping, her bare skin torn and bleeding, tears running from her eyes. "Don't let me die this way, please, oh, please, don't let me die this way..."
But the darkness remained. The squishy body beneath her didn't move, decaying flesh touched hers, sharp ribs poked upward against her back. She shuddered, nearly vomited, and screamed.
Above the sound of her voice she heard the chilling, resonate thud of dirt and stones raining onto the top of this hideous coffin.
"No! No!"
She pounded until her fists bled and burned, all the while pleading and crying. "Let me out! Please, please!"
Who would do this to her?
Why... oh, God, why... Who had she wronged so horribly? There were so many she'd lied to, their faces running through her half-crazed mind, chased by panic. But who would hate her enough to torture her this way? Who would have cause? Who would be so cruel?
She gasped. The air nearly gone. She was fading. Her mind spun wildly to thoughts of the men in her life and to one in particular, one who probably didn't remember her name, one she had wronged fiercely.
Pierce Reed.
Detective with the Savannah Police Department.
A man honored, but with dark secrets of his own.
No... Reed wouldn't do this to her, didn't really know how deeply their lives were entwined, didn't care.
It was another man, some monster who had trapped her here.
She began to shiver and weep.
"Let me out! Let me out," she screamed, sobbing, her throat aching, her skin crawling with the thought of the decomposing human that was her bed. "Please, please, let me out of here...
I'll do anything... anything, oh, please, don't do this ..."
But she didn't even know to whom she was begging and the shovels of dirt and pebbles kept raining on the grave.
She gasped, drawing in a ragged, burning breath of what was left of the air. Her lungs were on fire from lack of oxygen and she felt suddenly weak.
Helpless.
Doomed.
She made one last vain attempt to claw her way out of her prison, but it was no use. The blackness crashed over her, crushing the fight from her, squeezing the life from her, and her hands fell to her sides. This, then, was her tomb. Forever.
Above the gruesome silence she thought she heard laughter. It sounded far away, but she knew it was meant for her to hear. He wanted her to know. To hear him before she drew her last breath.
Whoever had done this to her was enjoying it.
Translation - Indonesian PROLOGUE
Oh, Tuhan, dingin… dingin sekali…
Bobbi menggigil. Ia merasa lemas, hampir tak bisa bergerak, kepalanya pusing dan tumpul. Ia ingin tidur, mengindahkan perasaan samar karena ketidaknyamanan yang terus mengusik pikirannya. Kelopak matanya begitu berat. Seakan-akan ia terlalu banyak menenggak pil tidur. Aroma tajam menusuk hidungnya, sesuatu yang sangat kotor. Ngeri ia menyadari bahwa ruangannya begitu senyap. Hening. Begitu mengerikan. Tidak ada suara jam yang berdetik dari ruangan, atau kipas angin dari tungku pembakaran… tidak… kesunyian ini begitu menulikan.
Kau tidak sedang berada di dalam kamarmu.
Pikiran itu mengejutkannya.
Kau tidak sedang berada di tempat tidurmu.
Ia memaksakan kelopak matanya terbuka. Ia berada… dimana?
Bau anyir membuatnya tercekik. Perlahan, pikirannya menjadi semakin jelas. Dimana ia berada dan mengapa ia tidak bisa bergerak? Paru-parunya terasa sesak, udara begitu tipis, dan kegelapan ini benar-benar pekat. Kepanikan menyerangnya saat ia menyadari ia sedang berbaring, terjepit pada sesuatu yang keras, dan lapisan kain licin menutupi hidungnya.
Gelap sekali. Tak ada udara. Ia kesulitan bernafas. Dan bau yang busuk itu… Ia hampir saja muntah.
Ini salah, semuanya salah.
Ia berusaha bangkit.
Dug!
Kepalanya membentur sesuatu yang keras dan ia tidak bisa menggerakkan lengannya. Tidak bisa keatas maupun menyamping. Ia sedang terhimpit dalam ruangan yang sangat sempit, diatas tempat tidur yang tidak nyaman… bukan, bukan tempat tidur, sesuatu yang lebih lembut, seperti spons, dan basah, dengan ujung atas yang keras menyodok bagian belakang tubuhnya. Dan dengan bau busuk dan memuakkan itu. Kengerian, sedingin kematian, menjerit-jerit di otaknya. Ia dijejalkan kedalam sebuah kotak yang sempit.
Dan kemudian ia paham.
Dengan kejelasan yang memuakkan.
Bahwa ia dimasukkan kedalam peti mati?
Tuhan, tidak! Tidak mungkin! Tidak masuk akal. Pikirannya cuma buntu, itu saja. Dan ketakutan akan tempat tempat sempit ini cuma bagian dari mimpi yang luarbiasa mengerikan. Cuma itu. Pasti cuma itu. Namun darahnya memacu panik di dalam tubuhnya. Ketakutan menyerang dirinya.
Tidak, oh, tidak… kumohon, jangan… ini pasti cuma mimpi. Bangun Bobbi. Demi Tuhan, bangun!
Ia berteriak dan jeritannya menggema didalam gendang telinganya, memantul-mantul dalam ruang sempit dan tanpa udara ini.
Berpikirlah. Jangan panik! Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan.
Dengan liar ia mencoba menendang ke atas, namun kaki telanjangnya mengenai permukaan yang keras, sebuah kuku kakinya menangkap lapisan kain. Kukunya terkelupas. Luka yang masih baru itu membakar kakinya dan ia bisa merasakan kukunya menggantung pada dagingnya.
Ini tidak mungkin terjadi. Ini pasti hanya mimpi buruk. Pasti, Meskipun begitu… dengan sekuat tenaga ia mencoba mendorong, berusaha keluar dari ruang sempit yang mengerikan ini dengan lapisan kain satinnya dan… dan… Ya Ampun, ia berbaring di atas sesuatu yang lunak di beberapa bagian, namun keras dibagian yang lain, sebuah… sebuah…
Mayat! Kau berbaring diatas mayat!
“Tidaaaaaak! Tolong keluarkan aku!” Ia mencabik lapisan tersebut dengan jemarinya, menggores, mencakar dan menghantamnya, merasakan tulang dan daging yang membusuk dan rambut-rambut tipis mengenai kulit telanjangnya… kulit telanjang… ya Tuhan, apakah ia telanjang? Ia dilesakkan kedalam kotak yang mengerikan ini tanpa sehelai kain pun? Siapa yang melakukan hal ini padanya? Mengapa? “Tolong! Kumohon, tolong aku!” Jeritannya menggema dalam telinganya, memantul kembali padanya. “Ya Tuhan, ya Tuhan… kumohon, siapapun.” Ya ampun, apakah ia benar-benar berbaring di atas orang mati? Kulitnya meremang saat mengingat akan daging yang membusuk di bawahnya, mulut yang tanpa bibir menempel ke belakang lehernya, tulang-tulang rusuk dan tangan dan…
Mungkin dia dulu masih hidup—hanya tak sadarkan diri seperti halnya dirimu tadi.
Namun ia lebih tahu. Orang yang dulunya pernah hidup di bawahnya ini dingin mati dan berbau anyir dan mungkin sudah membusuk dan… oh, semoga ini hanya mimpi buruk yang luar biasa mengerikan. Biarkan aku bangun. Ia mendengarkan suara isakan dan sadar suara tersebut keluar dari dalam tenggorokannya. Jangan panik. Coba cari jalan keluar dari sini… selama kau masih bisa bernafas. Kenyataan bahwa kau masih bisa bernafas artinya kau mungkin hanya tetjatuh ke dalam sini. Hanya karena kau berada di dalam peti mati bukan berarti kau terkubur di dalam tanah… Tapi ia mencium bau tanah yang lembab, dan tahu bahwa peti mati ini sudah berada di dalam kubur. Hanya masalah waktu sebelum…
Cepat bangkit dan cari jalan keluar dari sini! Kau wanita yang cerdas, berpikirlah! BERPIKIR! Jika kau tidak terkubur, hanya terjebak di sini, maka pasti akan ada waktu... Tapi ia tahu waktu berlari cepat, setiap detiknya membawanya semakin dekat pada kematian yang mengerikan dan tak masuk akal. Kumohon, Tuhan, jangan biarkan aku mati. Bukan dengan cara seperti ini… bukan… bukan dengan cara seperti ini.
“Tolong aku! Tolong! TOLONG!” ia berteriak, menjerit dan menggarut dengan liar tutup peti mati itu. Ia merobek lapisan kain satin yang lembut itu, kuku-kuku jari panjangnya yang terawat patah, kulitnya robek, rasa sakit seakan membakar punggung tangannya. Bau busuk menyeruak, udara begitu terasa dingin dan tipis… ini pasti hanya mimpi… pasti. Namun rasa sakit di ujung jarinya, darah yang mengalir di bawah kukunya meyakinkannya bahwa ia hidup dalam mimpi buruk yang begitu mengerikannya sampai ia hampir tak bisa membayangkannya.
Kengerian mencekiknya dan ia pikir ia mungkin bakal pingsan. Dengan berteriak sekuat tenaga, ia menendang-nendang, memukul-mukulkan lutut dan kakinya, ototnya menegang, kulitnya yang telanjang mengelupas dan berdarah, air matanya membanjiri pipinya. “Jangan biarkan aku mati seperti ini, kumohon, oh, kumohon, jangan biarkan aku mati mati dengan cara seperti ini…”
Namun kegelapan masih sama. Mayat yang lunak di bawahnya tidak bergerak, daging yang membusuk menyentuhnya, tulang-tulang rusuk yang tajam menyodok punggungnya. Ia merasa jijik, hamper muntah, dan ia berteriak.
Terlepas dari suaranya sendiri, ia mendengar suara tanah dan batu yang bergedebukan bergema mengerikan menghujani peti mati yang mengerikan itu.
“Tidak! Tidak!”
Ia menghantamkan kepalan tangannya hingg berdarah dan memanas sembari memohon dan berteriak. “Biarkan aku keluar! Kumohon, kumohon!”
Siapa yang tega melakukan ini padanya?
Mengapa… oh, Tuhan, mengapa… Siapa yang telah begitu tersakiti olehnya? Banyak orang yang telah ia bohongi, wajah-wajah mereka berkelebat dalam pikirannya yang setengah gila, diburu kepanikan. Namun siapa yang begitu membencinya hingga tega memperlakukannya seperti ini? Siapa yang memiliki alasan untuk itu? Siapa yang begitu kejam?
Ia termegap-megap. Udara hampir habis. Ia hampir kehilangan kesadaran. Angannya berputar-putar dengan cepat saat memikirkan pria-pria yang ada dalam hidupnya dan khususnya, yang mungkin saja tidak ingat namanya, yang benar-benar ia sakiti.
Pierce Reed.
Detektif kantor Kepolisian Savannah.
Pria terhormat, namun dengan rahasia gelap yang ia simpan sendiri.
Tidak… Reed tidak akan mungkin tega melakukan hal ini padanya, ia tak tahu seberapa dalam hubungan mereka telah terjalin, tidak peduli,
Bobbi mulai menggigil dan menangis.
“Keluarkan aku! Keluarkan aku,” ia menjerit, mengisak hingga tenggorokannya sakit, kulitnnya meremang saat berpikir akan tubuh yang membusuk yang menjadi tempatnya berbaring, “Kumohon, kumohon, keluarkan aku dari sini…
Aku akan melakukan segalanya… segalanya, kumohon, jangan lakukan ini…”
Namun ia bahkan tak tahu kepada siapa ia memohon, dan sekopan tanah dan kerikil terus menghujani liang kuburnya.
Ia terengah-engah, dalam kemarahan dan nafas yang terbakar karena udara yang semakin habis. Tenggorokannya terbakar karena kekurangan oksigen dan ia tiba-tiba merasa lemas.
Tanpa harap.
Sial.
Dengan sia-sia ia berusaha keluar dari penjaranya, namun itu tidak ada gunanya. Kegelapan menghantam kepalanya, menghancurkan perjuangannya, menekan sisa hidupnya, hingga kemudian tangannya jatuh ke sisi tubuhnya. Inilah tempatnya bersemayam. Selamanya.
Diatas kesenyapan yang mengerikan rasanya ia mendengar tawa. Rasanya terdengar jauh sekali, namun ia tahu bahwa suara itu memang sengaja diperdengarkan untuknya. Laki-laki itu ingin ia tahu. Ingin didengar olehnya sebelum ia menemui ajal.
Siapapun yang melakukan hal ini padanya sedang menikmatinya.
More
Less
Translation education
Bachelor's degree - State University of Malang
Experience
Years of experience: 16. Registered at ProZ.com: Oct 2010.