This site uses cookies.
Some of these cookies are essential to the operation of the site,
while others help to improve your experience by providing insights into how the site is being used.
For more information, please see the ProZ.com privacy policy.
This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations
This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
English to Indonesian: THE ART OF LOVING: THE THEORY OF LOVE
Source text - English Any theory of love must begin with a theory of man, of human existence. While we find love, or rather, the equivalent of love, in animals, their attachments are mainly a part of their instinctual equipment; only remnants of this instinctual equipment can be seen operating in man. Man can only go forward by developing his reason, by finding a new harmony, a human one, instead of the prehuman harmony which is irretrievably lost.
When man is born, the human race as well as the individual, he is thrown out of a situation which was definite, as definite as the instincts, into a situation which is indefinite, uncertain and open. 'Mere is certainty only about the past – and about the future only as far as that it is death.
Man is gifted with reason; he is life being aware of itself; he has aware¬ness of himself, of his fellow man, of his past, and of the possibilities of his future. This awareness of himself as a separate entity, the awareness of his own short life span, of the fact that without his will he is born and against his will he dies, that he will die before those whom he loves, or they be¬fore him, the awareness of his aloneness and separateness, of his helpless¬ness before the forces of nature and of society, all this snakes his separate, disunited existence an unbearable prison. He would become insane could he not liberate himself from this prison and reach out, unite himself in some form or other with men, with the world outside. The experience of separateness arouses anxiety; it is, indeed, the source of all anxiety. Being separate means being cut off, without any capacity to use my human powers. Hence to be separate means to be helpless, unable to grasp the world – things and people – actively; it means that the world can invade me without my ability to react. Thus, separateness is the source of intense anxiety. Beyond that, it arouses shame and the feeling of guilt. This experience of guilt and shame in separateness is expressed in the Biblical story of Adam and Eve. After Adam and Eve have eaten of the 'tree of knowledge of good and evil', after they have disobeyed (there is no good and evil unless there is freedom to disobey), after they have become human by having emancipated themselves from the original animal harmony with nature, i.e. after their birth as human beings – they saw 'that they were naked – and they were ashamed'. Should we assume that a myth as old and elementary as this has the prudish morals of the nineteenth-century out look, and that the important point the story wants to convey to us is the embarrassment that their genitals were visible? This can hardly be so, and by understanding the story in a Victorian spirit, we miss the main point, which seems to be the following: after man and woman have become aware of themselves and of each other, they are aware of their separateness, and of their difference, inasmuch as they belong to different sexes. But while recognising their separateness they remain strangers, because they have not yet learned to love each other (as is also made very clear by the fact that Adam defends himself by blaming Eve, rather than by trying to defend her). The awareness of human separation, without reunion by love – is the source of shame. It is at the same time the source of guilt and anxiety.
Translation - Indonesian SENI MENCINTA: SEBUAH TEORI TENTANG CINTA
Teori apa pun tentang cinta pasti dimulai dengan teori tentang manusia, tentang eksistensi manusia. Meskipun kita bisa menemukan cinta, atau persisnya sesuatu yang sama dengan cinta, pada binatang, kelekatan emosional mereka terutama merupakan bagian dari kelengkapan insting mereka; dan hanya sisa-sisa dari kelengkapan insting inilah yang bisa diamati bekerja pada manusia. Manusia hanya bisa maju dengan mengembangkan nalar, dengan menemukan keselarasan baru, keselarasan manusia, bukan keselarasan pra-manusia yang telah hilang dan tidak bisa diperoleh kembali.
Saat manusia, umat manusia dan juga manusia secara individual, di lahirkan, ia terlempar keluar dari sebuah situasi yang pasti, sama pasti seperti insting, ke dalam situasi yang tidak pasti, tidak tentu dan terbuka. Hanya ada kepastian tentang masa lalu –dan tentang masa depan sejauh bahwa kepastian itu adalah kematian. Manusia diberkati dengan nalar; ia adalah makhluk hidup yang sadar akan dirinya sendiri; ia memiliki kesadaran tentang dirinya sendiri, tentang sesama manusia, tentang masa lalunya, dan tentang kemungkinan-kemungkinan masa depannya. Kesadaran tentang diri sebagai entitas terpisah, kesadaran tentang kehidupan pendeknya, tentang fakta bahwa ia dilahirkan bukan atas kemauannya dan kematian yang tidak ia inginkan, bahwa ia akan mati di hadapan orang-orang yang ia cintai, atau orang-orang yang ia cintai akan mati di hadapannya, kesadaran tentang kesendirian dan keterpisahannya, tentang keputusasaannya di hadapan kekuatan-kekuatan alam dan kekuatan-kekuatan masyarakat, semua ini menjadikan eksistensi terpisah dan terbelahnya sebuah penjara yang tak tertanggungkan. Ia akan menjadi gila jika ia tidak bisa membebaskan dirinya dari penjara ini dan keluar, menyatukan dirinya sendiri dengan manusia, dengan dunia luar di dalam beberapa bentuk penyatuan atau bentuk-bentuk penyatuan yang lain.
Pengalaman keterpisahan memunculkan kecemasan; keterpisahan ini tentu saja merupakan sumber dari semua kecemasan. Terpisah berarti terputus, tanpa kemampuan untuk menggunakan kekuatan-kekuatan manusiaku. Dengan demikian terpisah berarti putus asa, tidak mampu secara aktif menggenggam dunia –benda-benda dan manusia-; keterpisahan berarti bahwa dunia bisa menyerangku tanpa aku mampu bereaksi. Jadi, keterpisahan adalah sumber kecemasan intens. Di samping itu, keterpisahan memunculkan perasaan malu dan bersalah. Pengalaman perasaan malu dan bersalah di dalam keterpisahan diungkapkan di dalam kisah Injil tentang Adam dan Hawa. Setelah Adam dan Hawa makan dari ‘pohon pengetahuan baik dan buruk’, setelah mereka tidak lagi patuh (tidak ada kebaikan dan kejahatan jika tidak ada kebebasan untuk tidak patuh), setelah mereka menjadi manusia dengan melepaskan diri mereka dari keselarasan awal mereka sebagai binatang dengan alam, maksudnya, setelah kelahiran mereka sebagai manusia –mereka tahu ‘bahwa mereka telanjang- dan mereka malu’. Haruskah kita berasumsi bahwa mitos setua dan semendasar ini memiliki pesan moral kesopan-santunan dari pandangan abad kesembilan belas, dan bahwa pokok persoalan penting yang ingin disampaikan oleh kisah itu kepada kita adalah perasaan malu karena organ-organ genital mereka terlihat? Kisah itu hampir tidak bis dipahami dengan cara demikian, dan dengan memahami kisah itu di dalam semangat Viktorian, kita melewatkan pokok persoalan penting, yang tampaknya adalah sebagai berikut: setelah laki-laki dan perempuan menjadi sadar akan diri mereka sendiri dan sadar akan satu sama lain; mereka menjadi sadar akan keterpisahan mereka, dan sadar akan perbedaan mereka, karena mereka memiliki jenis kelamin yang berbeda. Sadar akan keterpisahan mereka, mereka menjadi asing satu sama lain karena mereka belum belajar mencintai satu sama lain (seperti diperjelas oleh fakta bahwa Adam membela diri sendiri dengan mempersalahkan Hawa, bukan dengan berusaha membelanya). Kesadaran akan keterpisahan manusia, tanpa penyatuan oleh cinta –adalah sumber rasa malu. Pada saat yang sama, kesadaran akan keterpisahan itu menjadi sumber rasa bersalah dan kecemasan.
Indonesian to English: Gender and Domestic Violance against Women
Source text - Indonesian Pemberitaan media massa, laporan data, serta analisis dari pemerintah, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat dalam tahun-tahun terakhir ini membenarkan maraknya praktek kekerasan rumah tangga. Suami, istri, anak, dan anggota keluarga telah menjadi korban atau pelaku itu sendiri. Kasus operasi face-off Lisa (Siti Nur Jazilah) di RSUD Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, yang mengungkap perceraian di dalam keluarga Mulyono; kasus almarhum Ari Anggaran tahun 1980-an sebagai anak yang menjadi korban kekerasan; kasus ”Lara,” gadis kelas 2 SMP yang empat tahun dipekerjakan ibu kandungnya sebagai pelacur di Jakarta Selatan, DKI, dan kasus yang lain.
Berlakunya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, semenjak 22 September 2004, diharapkan banyak pihak dapat menjadi jaminan hukum bagi perlindungan anggota keluarga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan dalam rumah tangga. Faktanya, laporan angka kekerasan dalam rumah tangga mengalami kenaikan. Dengan menganalisis Laporan Komnas Perempuan 2005, terdapat peningkatan angka kekerasan dalam rumah tangga 45 % dibanding tahun sebelumnya. Terdapat 14.020 dari 20.291 kasus yang ditangani 215 lembaga di 29 propinsi di Indonesia, termasuk di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dari sejumlah lembaga menunjukkan adanya peningkatan. Rekapitulasi yang dilakukan oleh Rahima memaparkan data berikut: Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre di Jakarta telah menerima pengaduan 879 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, untuk rentang waktu 1997-2002, di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya. Faktanya, 69 % lebih pelakunya adalah suami korban. Sedangkan Rifka Annisa Women’s Crisis Centre menerima pengaduan 994 kasus kekerasan terhadap istri di Yogyakarta dan Jawa Tengah selama 1999-2000. Penanganan LBH APIK Jakarta terhadap perempuan korban kekerasan juga mengalami peningkatan: Tahun 2000 menangani 343 kasus, 2001 sebanyak 471 kasus, 2002 sebanyak 530, 2003 sebanyak 627, 2004 sebanyak 817, dan tahun 2005 sebanyak 1046 kasus kekerasan. Demikian halnya di Jember Jawa Timur, sebagaimana data GPP (Gerakan Peduli Perempuan) Jember, 2006. Dengan menganalisis isi pemberitaaan koran Radar Jember dan Harian Surya pada Mei 2005 – Maret 2006, terjadi 55 kasus. Modus kekerasan terhadap perempuan adalah pencabulan, penganiayaan fisik, pemerkosaan dengan kekerasan, pengelupasan batok kepala, dan luka memar pada vagina. Umur korban antara 4–30 tahun, dengan pelaku yang berumur dari 12–72 tahun.
Translation - English Jender dan Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap Perempuan
News releases of mass media, data reports, and the analyses by government, academicians, and non-government organizations in recent years confirm the high prevalence of domestic violence practices. Husbands, wives, children, and other family members have become the survivors or the doers of the violence. The case of Lisa’s (Siti Nur Jazilah’s) face-off surgery in Soetomo Public Hospital Surabaya, East Java that uncovered the divorce in Mulyono’s family; the case of Ari Anggara in 1980s as the survivor of the violence; the case of “Lara”, a young girl of junior high school second grader who have been prostituted by her own mother in South Jakarta, DKI, and other cases have raised to the surface of social reality. It is expected that the issuance of the Act Number 23 of 2004 on the Abolishment of Domestic violence put in effect since September 22nd, 2004 serves as the warranty of the legal protection for family members, especially female family members against any kind of domestic violence. Analyzing the report of Komnas Perempuan, a national women commission, of 2005, it is clearly observed that there was a 45% increase in the domestic violence as compared to the prior year. There were 14,020 cases of 20,291 cases that were handled by 215 institutions in 29 provinces in Indonesia, including the Special District of Yogyakarta.
Also, there has been an increase in the violence against women based on the data of some institutions. The recapitulation by Rahima described the following data. Mitra Perempuan Women’s Crisis Center in Jakarta received 879 cases of the violence against women in families in the period of 1997-2002 in Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, and the surrounding areas. The fact was that the doers were the husbands of the survivors. Meanwhile, Rifka Annisa Women’s Crisis Center received 994 cases against wives in Yogyakarta and Central Java in the period of 1999-2000. Additionally, there was an increase in the number of the cases of the violence against women handled by LBH APIK Jakarta. It handled 343 cases in 2000, 471 cases in 2001, 530 cases in 2002, 627 cases in 2003, 817 cases in 2004, and 1046 cases in 2005. The situation also took place in Jember, East Java as indicated by the data of Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember in 2006. Analyzing the content of the news releases of Radar Jember and Surya daily news in the period of May 2005 – March 2006, 55 cases were found. The modus of the violence against women were outrage, physical mistreatment, rape with violence, scalping, and bruised vagina. The age of the survivors was in the rage of 4-30 years old and that of doers of the violence was in the range of 12-70 years old.
German to Indonesian: DIE ANWENDUNG DER HUMANISTISCHEN PSYCHOANALYSE AUF DIE MARXISTISCHE THEORIE
Source text - German Marxismus ist Humanismus. Sein Ziel ist die volle Entfaltung aller Moeglichkeiten des Menschen: nicht des von seinen Ideen oder von seinem Bewutsein her bestimmten Menschen, son¬dern des Menschen mit all seinen koerperlichen und seelischen Eigenschaften, des wirklichen Menschen, der nicht in einem Vakuum, sondern im gesellschaftlichen Kontext lebt, des Men¬schen, der produzieren mu, um leben zu koennen. Eben die Tatsache, da es Marx um den ganzen Menschen, und nicht nur um sein Bewutsein geht, unterscheidet den Marxschen „Mate¬rialismus“ von Hegels „Idealismus“ ebenso wie von dcr oekono¬misch-mechanistischen Reduction des Marxismus. Die groe Leistung von Marx bestand darin, da er die oekonomischen und philosophischen Kategorien, die sich auf den Menschen beziehen, von ihren abstrakten und entfremdeten Ausdrucks¬formen befreit und so Philosophie und Oekonomie ad hominern bezogen hat. Marx ging es um den Menschen, und sein Ziel war die Befreiung des Menschen von der Voerherrschaft der materiellen Interessen, aus dem Gefaenngnis, das seine Form dcr Le¬benspraxis um ihn herum errichtet hatte. Wenn man dieses Anliegen von Marx von Marx nicht versteht, wird man weder seine Theo¬rie noch deren Verfaelschung durch viele begreifen, die sie zu praktizieren behaupten. Auch wenn der Titel des Hauptwerks von Marx „Das,Kapital“ lautet, so ist dieses Werk doch nur ein Teil einer umfassenden Theorie, und es sollte dem „Kapital“ eine Geschichte der Philosophie folgen. Marx diente die Analyse des Kapitals dazu, den verkrueppelten Zustand des Menschen in der Industriegesellschaft kritisch zu durchleuchten. Es war nur ein Schritt in dem groen Werk, dessen Titel –wenn er es haette schreiben koennen – vielleicht „Mensch und Gesellschaft“ gelau¬tet haette.
Translation - Indonesian PENERAPAN PSIKOANALISA HUMANISTIS
PADA TEORI MARXIS
Marxisme adalah humanisme. Tujuan marxisme tidak lain adalah perkembangan penuh seluruh kemungkinan yang dimiliki manusia: bukan hanya manusia yang ditentukan oleh ide-ide atau kesadarannya, melainkan manusia dengan keseluruhan kualitas-kualitas fisik dan psikisnya. Manusia sesungguhnya adalah makhluk yang tidak hidup dalam kehampaan, melainkan hidup di dalam konteks kemasyarakatan. Manusia yang harus berproduksi agar bisa hidup. Sebuah kenyataan, bahwa pembahasan Marx tidak hanya terbatas pada kesadaran manusia, melainkan manusia total, telah membedakan materialisme Marx dari idealisme Hegel seperti juga dari marxisme yang telah mengalami reduksi ekonomis-mekanistis. Karya besar Marx meliputi usahanya dalam membebaskan kategori-kategori ekonomis filosofis yang berhubungan dengan manusia dari bentuk-bentuk pengungkapannya yang abstrak dan asing, serta pembahasannya tentang filsafat dan ekonomi ad hominem. Marx berbicara tentang manusia dan tujuannya adalah dalam rangka membebaskan manusia dari kepentingan-kepentingan materiil sebelumnya, membebaskan manusia dari penjara yang membatasinya dalam bentuk ruang hidup yang telah dibangun mengelilingi manusia. Orang tidak akan pernah dapat memahami teori atau pun kesalahan-kesalahan teorinya, jika tidak paham apa yang dimaksudkan oleh Marx di atas. Mempraktekkan teorinya harus memahami benar apa yang dimaksud Marx dalam teorinya, di samping harus mengetahui kesalahan-kesalahan teorinya. Karya besar Marx “Das Kapital” sebenarnya hanya merupakan satu bagian dari sebuah teori yang lengkap. Teori itu seharusnya menjadi rangkaian sejarah filsafat yang mengikuti “Das Kapital”. Analisis Marx dalam karya itu merupakan sorotan kritisnya terhadap keadaan manusia cacat dalam masyarakat industri. Karya itu merupakan langkah awal menuju karya lengkapnya yang seandainya dapat diselesaikannya mungkin akan berjudul “Mensch und Gesellschaf”.
German to English: ALS UEBERSETZER FREIBERUFLICH ARBEITEN
Source text - German Es war schon lange vor dem Abschlub seines Studiums in der Deutschabteilung der Pädagogischen Hochschule in 1996 dass Herr Nordeen sich mit der Übersetzung Englisch-Deutsch-Indonesisch beschäftigt hat. Er versuchte was zu verkaufen, das er ja eigentlich hatte. Er hatte Englisch- und Deutschkenntnisse, die verkauft werden konnte, um etwas Geld zu verdienen und arbeitete er seither freiberuflich als Englisch-Deutsch-Indonesischer Übersetzer. Er gab der ersten Partei, die solche Bestellung erhält, 15% von dem Wert jeder Bestellung, die er schon erledigt hat und bezahlt werden hat.
Mittlerweile, Herr Nordeen versuchte auch, die Kunden seines Übersetzungsdiensts zu identifizieren, die die Übersetzungsdienst von der ersten Partei bestellen haben, so dass er sich selbst später mit den Bestellungen befassen konnte und deshalb konnte er sein Einkommen 15% erhöhen. Es war ihm gelungen, die Bestellungen zu befassen und bestätigt er bis heutige Zeit mit der freiberuflichen Übersetzungsarbeit, sich mit seiner eigenen Bestellungen zu beschäftigen. Es ist schon was lange Zeit bis den Moment, in dem er denkt, das Geschäft mit seiner ganzen Kraft zu leiten. Endlich entscheidet er, einen Kiosk zu mieten und das Geschäft zu operieren.
Er renovierte den Kiosk und funktionierte ihn als sein Büro, wo er sich die Bestellung der Übersetzungsdienst seiner eigenen Kunden befasste. Er stellte eine Planke vor dem Büro, die den vorbeigehenden Leuten sein Übersetzungsgeschäft zeigte. Er nennt sein Geschäft “EGITS”, das die Abkürzungen von Englisch-German-Indonesian Translation Service ist.
Neulich beschäftigt er sich mit Internet, um seine Übersetzungsdienst auf den Markt zu bringen.
Translation - English WORKING AS FREELANCE TRANSLATOR
It was long before the completion of his German study in the Institute of Teacher Training and Pedagogical Sciences that Mr. Nordeen tried to sell what he had. He was able speak both English and German. It was these abilities that he could sell for some money to support his life. Therefore, he worked as freelance English-German-Indonesian translator, handled second hand translation order and gave the first party receiving the order 15% of the money.
Meanwhile, Mr. Nordeen also tried to find the way to identify who were his real customers who made the order for the first party and to receive the order of his own. His effort was successful. That way he was able to increase his income by 15%. He has been doing the job up to the present. It has been quite long that he did the job till the moment he thought to operate the business in a more serious manner.
Ultimately, he decided to make the plan of a small and simple business and hence he rented a very simple outlet and modified it into an office-like outlet for him to make the translation transaction of his own. He placed a plank in front of the outlet indicating the name of his small business of English-German-Indonesian translation service and called the business EGITS. The outlet is the place where he operates his own business up to the present.
Recently, he makes use of Internet to do the marketing efforts of his translation service.
More
Less
Experience
Years of experience: 28. Registered at ProZ.com: Sep 2012.