Member since Aug '20

Working languages:
English to Indonesian
Indonesian to English

Albard Khan
Law, business, and social sciences.

Surabaya, Jawa Timur (Djawa Timur), Indonesia
Local time: 12:17 WIB (GMT+7)

Native in: Indonesian (Variant: Standard-Indonesia) Native in Indonesian, Javanese Native in Javanese
Feedback from
clients and colleagues

on Willingness to Work Again info
3 positive reviews
(3 unidentified)

 Your feedback
Account type Freelance translator and/or interpreter, Identity Verified Verified member
Data security Created by Evelio Clavel-Rosales This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
Services Translation, Editing/proofreading, Native speaker conversation, Language instruction
Expertise
Specializes in:
Advertising / Public RelationsFinance (general)
AnthropologyCinema, Film, TV, Drama
Poetry & LiteratureLaw: Taxation & Customs
Law: Patents, Trademarks, CopyrightLaw: Contract(s)
Law (general)Folklore
Education / Pedagogy

All accepted currencies Indonesian rupiah (idr)
KudoZ activity (PRO) Questions answered: 1
Payment methods accepted TransferWise
Portfolio Sample translations submitted: 4
Indonesian to English: INCONSISTENCY IN THE USE OF LEGAL CONCEPTS IN THE REGULATIONS OF LAND ACQUISITION IN INDONESIA
General field: Other
Detailed field: Real Estate
Source text - Indonesian
A. Pendahuluan
Dalam kegiatan pembangunan maka tidak terlepas dari kegiatan perolehan hak atas tanah. Jika ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang ada khususnya dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya sudah dilakukan pembagian yakni terdapat pasal-pasal yang mengatur perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum dan pasal-pasal yang mengatur perolehan hak atas tanah selain kepentingan umum. Dalam kaitannya dengan perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum terdapat adanya dua pasal penting yaitu Pasal 18 dan Pasal 6. Dalam Pasal 18 disebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama bagi rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dalam Undang-undang. Dalam penjelasan Pasal 18 disebutkan bahwa pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-hak atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai dengan ganti kerugian yang layak. Atas dasar Pasal 18 tersebut maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya
Kalau disimak dari ketentuan tersebut nampak bahwa yang diatur dalam Pasal 18 UUPA dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 itu hanya dalam kaitannya dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum, seseorang atau badan hukum pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan tanahnya. Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 UUPA yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaannya dan sifat haknya hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Hal ini bukan berarti hak perorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum. Untuk itu bagi orang atau badan hukum yang terkena proyek pembangunan untuk kepentingan umum, mereka berhak mendapatkan ganti kerugian yang layak. Dengan demikian antara kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat akan terjadi keseimbangan sehingga pada akhirnya diharapkan akan tercapai tujuan pokok yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat .
Pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam perkembangannya telah mengalami berbagai perubahan yakni diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan yang terakhir diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan yang terakhir diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.Adanya perubahan tersebut diharapkan lebih tercipta adanya penghormatan hak atas tanah seseorang. Misalnya Permendagri 15 Tahun 1975 dicabut dengan Keppres 55 Tahun 1993 karena Permendagri tersebut dinilai telah menimbulkan kekacauan dalam pembentukan harga pasar tanah.
Dalam UUPA tidak secara eksplisit mengatur mengenai pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum. Namun kalau disimak dari beberapa pasal maka dapat ditemukan adanya pengaturan mengenai peralihan berbagai macam hak, misalnya Pasal 20 ayat (2) mengatur peralihan hak milik atas tanah, Pasal 28 ayat (3) mengatur peralihan Hak Guna Usaha, Pasal 35 ayat (3) mengatur peralihan Hak Guna Bangunan, Pasal 43 mengatur peralihan hak pakai. Dalam pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan cara peralihan hak misalnya jual beli atau tukar menukar. Sampai saat ini tidak ada undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum. Berbagai peraturan yang pernah ada selama ini nampak pengaturan secara sektoral misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan, Permendagri Nomor 3 Tahun 1987 Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan, Permendagri 12 Tahun 1984 yang merupakan penyempurnaan Permendagri Nomor 3 Tahun 1984 Tentang Tata Cara Penyediaan Tanah dan Pemberian Hak Atas Tanah, pemberian izin bangunan serta izin Gangguan bagi perusahaan-perusahaan yang mengadakan penanaman modal Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968.
Selain berbagai peraturan tersebut diatas dikeluarkan pula Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal. Berdasarkan Keputusan Menteri tersebut dapat disimpulkan bahwa perolehan tanah dilakukan secara langsung antara perusahaan dengan pemilik atau pemegang hak atas tanah atas dasar kesepakatan yang dapat dilakukan melalui cara pemindahan hak atas tanah atau melalui pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang diikuti dengan pemberian hak.
Dalam peraturan perundang-undangan tersebut diatas nampak sekali masih adanya berbagai konsep yang digunakan, dimana antara konsep yang satu dengan yang lainnya didefinisikan dengan definisi yang sama dan ada pula yang berbeda. Konsep-konsep tersebut antara lain konsep pembebasan tanah, penyediaan tanah, perolehan tanah, pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara tegas dikemukakan bahwa:
“Bahasa Peraturan Perundang-Undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengerjaannya, namun demikian bahasa Peraturan Perundang-Undangan mempunyai corak tersendiri yang bercerminkan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum. Di dalam peraturan perundang-undangan yang sama hindari penggunaan:
a. Beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu.
b. Satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda”

Untuk itu perlu kajian mengenai konsep hukum apa yang tepat digunakan demi memberikan kepastian hukum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang akan diteliti dan dikaji dalam penelitian ini adalah konsep hukum apa yang tepat digunakan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur perolehan hak atas tanah untuk pembangunan ?

C. Pembahasan
C. 1 Hakekat Konsep Hukum
Konsep berasal dari bahasa latin conceptus yang berarti buah gagasan. Konsep berhubungan dengan benda atau gejala, bukan benda atau gejala itu sendiri, melainkan gambaran yang diimajinasikan dan didefinisikan saja. Konsep merupakan suatu realitas yang berada diranah atau tataran idea manusia, hadir sebagai konstuksi yang menggambarkan dalam wujudnya yang abstrak yang simbolis suatu realitas empiris.
Hukum dalam beroperasinya menggunakan konsep-konsep. Konsep-konsep yang digunakan dimaksudkan untuk merumuskan sekian banyak pengertian yang tercakup didalamnya, baik variasi maupun perbedaan-perbedaannya, kedalam satu istilah saja. Oleh pembuat peraturan perundang-undangan, konsep-konsep tersebut digunakan untuk menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh suatu peraturan hukum, konsep-konsep tersebut digunakan untuk menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh peraturan hukum. Misalnya konsep musyawarah adalah istilah ringkas untuk menggantikan suatu uraian yang menjelaskan proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Contoh lain yang dapat dikemukakan di sini adalah konsep pendaftaran tanah adalah istilah ringkas yang menggantikan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Contoh lain adalah konsep data yuridis istilah ringkas dari keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa penyusunan konsep hukum harus dapat dikembalikan pada unsur-unsur empiris yang membentuk konsep tersebut. Suatu konsep juga dituntut untuk mengandung suatu arti (meaningful). Suatu bunyi yang dikeluarkan oleh manusia tetapi tidak mengandung pesan apa-apa kepada orang lain tidaklah dapat disebut konsep.
Kaplan sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa suatu konsep seketika itu membentuk suatu pengertian tertentu di kepala orang yang menangkapnya, oleh karena itulah disebut sebagai “mengandung arti”. Seperti juga dalam artinya sebagai pengetahuan tersebut diatas maka untuk bisa mempunyai arti yang demikian itu, konsep harus bisa dikembalikan kepada empiris atau pengalaman. Pengembalian pada pengalaman ini merupaka ujian terhadap kebenaran arti konsep tersebut.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa konsep hukum itu harus mempunyai dasar empiris. Konsep-konsep hukum itu nantinya akan menjadi ukuran untuk menilai dan menghakimi dunia kenyataan, khususnya perbuatan manusia. Atas dasar ini saja, sebetulnya konsep-konsep hukum sudah dengan sendirinya harus mempunyai relevansi empiris. Demikian hubungan antara konsep dan kenyataan.
Pembentukan konsep atau pengertian memberikan kemungkinan untuk memberikan dimensi universal pada pengetahuan teoritikal dan praktikal yang terkumpul, sebab pengertian-pengertian dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, sejauh bahasa-bahasa yang bersangkutan mungkin untuk itu.
Definisi diperlukan untuk memberikan batasan dari sebuah konsep tersebut, sehingga akan dapat memberikan pemahaman yang jelas kepada pembaca ataupun pendengar tentang apa yang maksud dari perkataan tertentu. Dengan adanya batasan tersebut maka perkataan itu siapapun yang mengucapkan akan dapat memberikan pemahaman yang sama pada pendengarnya tentang konsep itu. Jadi dengan definisi itu suatu konsep diharapkan akan dapat diuraikan secara jelas mengenai batasan-batasannya.
Dari uraian diatas maka sangatlah diperlukan adanya suatu konsep yang jelas khususnya dalam hukum, karena hal itu akan dapat memudahkan dalam memahami hukum dan pada akhirnya dapat memberikan kepastian hukum.

C.2. Analisis Terhadap Konsep Hukum Penyediaan Tanah, Pembebasan Tanah,
Pengadaan Tanah, Perolehan Tanah Dan Pencabutan Hak Atas Tanah
Untuk menentukan konsep hukum apa yang paling tepat digunakan maka maka terlebih dahulu kita harus mengkajinya dari hubungan hukum antara negara dengan tanah dalam hukum pertanahan di Indonesia. Sebagaimana diuraikan dimuka bahwa hubungan antara negara dengan tanah adalah hubungan penguasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Jo. Pasal 2 UUPA. Atas dasar hubungan tersebut maka negara dapat memberikan hak-hak atas tanah baik pada orang-orang ataupun badan hukum. Dengan demikian maka terhadap bidang tanah yang sudah ada haknya maka disebut tanah hak, sedangkan tanah yang sama sekali tidak ada haknya disebut dengan tanah negara.
Istilah tanah negara berawal pada zaman Hindia Belanda. Sesuai dengan konsep hubungan antara penguasa (Pemerintah Hindia Belanda) dengan tanah yang berupa hubungan kepemilikan, maka dikeluarkanlah suatu pernyataan yang dikenal dengan nama Domein Verklaring
Teori Domein yang berintikan pemilikan negara atas tanah ini lahir sebagai hasil revitalisasi hubungan feodalistik pada masa sebelumnya yang telah dimanfaatkan oleh Vereenigde Oost Indesche Compagnie (VOC) dan begitu juga pada masa pemerintahan Raffles (1811-1816), dan selanjutnya diperkuat dengan domein verklaring dalam Agrarisch Besluit (Stb. 1870 No. 118) sebagai aturan pelaksana dari Agrarische Wet (stb. 1870 N. 55), bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa itu tanah eigendomnya, adalah domein negara.
Dalam praktik pelaksanaan perundang-undangan pertanahan, domein verklaring ini berfungsi sebagai landasan hukum bagi pemerintah yang mewakili negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam BW seperti hak erfpacht dan hak opstal. Selain itu juga berfungsi di bidang pembuktian pemilikan.
Akibat adanya domein verklaring ini banyak merugikan hak atas tanah yang dipunyai oleh rakyat sebagai perseorangan serta hak ulayat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat, karena berbeda dengan tanah-tanah hak barat, di atas tanah-tanah hak adat tersebut pada umumnya tidak ada alat bukti haknya. Dalam konsep domein negara tersebut maka tanah-tanah hak milik adat tersebut sebagai tanah negara tidak bebas (onvrij landsdomein), karena sudah dilekati dengan suatu hak, tetapi di luar itu, semua tanah termasuk hak ulayat disebut sebagai tanah negara bebas (vreij landsdomein).
Setelah Indonesia merdeka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Peraturan ini dikeluarkan pada masa Undang-Undang Dasar Sementara. Pada masa ini belum lahir UUPA, sehingga tanah negara yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini adalah tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Agrarisch Besluit.
Latar belakang diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 adalah untuk mengatur kembali kesimpangsiuran dalam urusan penguasaan tanah negara pada umumnya. Kekacauan itu diawali pada masa pendudukan Jepang. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum angka 5 Peraturan Pemerintah Nomer 8 Tahun 1953 bahwa:
„Untuk melancarkan usaha-usaha peperangan, berbagai jawatan dari pemerintah pendudukan Jepang diberi keleluasaan penuh untuk mengatur kepentingannya masing-masing. Akibatnya ialah bahwa dalam urusan tanah, jawatan itu berbuat sekehendak sendiri dengan mengabaikan peraturan-peraturan yang ada. Banyaknya tanah-tanah negara yang dengan begitu saja dipergunakan untuk keperluan yang menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan semula atau dipindah-pindahkan dari tangan jawatan satu ke tangan jawatan yang lain, dengan tidak melalui acara penerimaan dan penyerahan yang resmi. Banyak pula tanah-tanah negara yang dibiarkan terlantar oleh jawatan yang tidak membutuhkan lagi. Selain dari pada itu sering juga terjadi pembelian-pembelian tanah dari penduduk yang tidak saja dilakukan menurut peraturan-peraturan yang ada melainkan kemudian pun tidak diketahui jawatan manakah yang menguasainya“.

Ternyata tindakan-tindakan berbagai jawatan yang tidak menunjukkan garis-garis kebijaksanaan yang sama itu berlanjut hingga sesudah berakhirnya pendudukan Jepang. Kesimpang-siuran urusan penguasaan tanah negara pada umumnya tidak dapat diatasi dengan Stb. 1911 Nomor 110. Satu-satunya cara adalah dengan membentuk peraturan baru untuk mengatur kembali kesemrawutan urusan penguasaan tanah-tanah negara. Oleh karena itu diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953.
Dalam pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 disebutkan bahwa tanah negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Lebih lanjut diuraikan dalam penjelasan umum angka 1 Peraturan Pemerintan Nomor 8 Tahun 1953 yang menyebutkan:
„Menurut domeinverklaring yang antara lain dinyatakan di dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit, semua tanah yang bebas sama sekali dari pada hak-hak seseorang (baik yang berdasar atas hukum adat asli Indonesia, maupun yang berdasar atas hukum barat) dianggap menjadi „vrij landsdomein" yaitu tanah-tanah yanag dimiliki dan dikuasai penuh oleh negara. Tanah- tanah demikian itulah yang di dalam Peraturan Pemerintah ini disebut „tanah negara“
Keberadaan domeinverklaring terseut memang sangat merugikan kepentingan pemilik tanah karena yang dijadikan tolok ukur hanyalah pemuktian tertulis.
Maria S.W. Sumardjono mengatakan bahwa dalam peraturan pemerintah tersebut yang dimaksud dengan tanah negara adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh negara yang meliputi semua tanah yang sama sekali bebas dari hak-hak perorangan, baik yang berdasarkan hukum adat maupun hukum barat. Penguasaan tanah negara diletakkan dalam satu tangan, dan instansi yang diserahi tugas tersebut adalah Kementerian Dalam Negeri. Sebagai konsekuensinya maka tanah-tanah negara yang tidak diperlukan lagi atau tidak dipergunakan lagi oleh instansi yang sesuai dengan tugasnya maka harus dikembalikan kepada Menteri Dalam Negeri.
Setelah lahirnya UUPA maka hubungan antara negara dengan tanah bukan hubungan kepemilikan akan tetapi hubungan penguasaan. Hak menguasai negara meliputi hak menguasai atas bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan lahirnya UUPA ini menurut Maria S.W. Sumarjono yang dimaksud tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan serta tanah ulayat dan tanah wakaf. Adapun ruang lingkup tanah negara meliputi:
a. Tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya.
b. Tanah-tanah yang berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang lagi.
c. Tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris.
d. Tanah-tanah yang ditelantarkan
e. Tanah-tanah yang diambil untuk kepentingan umum sesuai dengan tata cara pencabutan hak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan pengadaan tanah yang diatur dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993 (sekarang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012).

Tanah-tanah yang diserahkan oleh pemiliknya menjadi tanah negara sering terjadi dalam kegiatan perolehan hak atas tanah yang mana pihak yang memerlukan tanah tidah dapat menjadi subyek hak atas tanah yang diperlukan.
Untuk tanah-tanah yang berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang lagi ini berkaitan dengan tanah-tanah yang dibatasi jangka waktu misalnya HGU, HGB, dan hak pakai yang terbatas waktunya. Pemegang hak mempunyai hak untuk mengajukan perpanjangan manakala jangka waktunya berakhir. Akan tetapi apabila pemegang hak tidak mengajukan permohonan perpanjangan hak, apabila tanah tersebut berasal dari tanah negara maka akan kembali menjadi tanah negara. Demikian pula dalam hal pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris.
Dalam kaitannya dengan tanah terlantar telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010. Berdasarkan peraturan tersebut yang menjadi obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, dan Hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Terhadap tanah-tanah tersebut dapat diusulkan oleh Kepala Kanwil BPN kepada Kepala BPN untuk di tetapkan sebagai tanah terlantar yang memuat juga penetapan hapusnya hak tersebut. Penetapan tersebut sekaligus memutuskan hubungan hukum dan selanjutnya ditegaskan sebagai tanah negara.
Dengan uraian tersebut maka tanah negara adalah benar-benar tanah yang bebas dalam arti tidak ada hak pihak lain di atasnya. Tanah-tanah inilah yang dapat diberikan kepada seseorang atau badan hukum yang memerlukan.
Dalam kaitannya dengan usaha untuk memperoleh hak atas tanah, maka dapat digambarkan skema sebagai berikut :
























Perolehan Hak Atas Tanah



Dari uraian serta skema diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam usaha memperoleh hak atas tanah dapat dilakukan baik melalui tanah yang sudah ada haknya maupun yang belum ada hanya. Terhadap kegiatan untuk memperoleh hak atas tanah yang dilakukan dengan mengajukan permohonan hak di atas tanah negara maka konsep yang tepat adalah pengadaan hak atas tanah (garis bawah dari penulis). Pengadaan hak atas tanah ini saya katakan tepat karena yang dimohon adalah tanah negara, jadi tidak ada hak diatasnya. Sedangkan terhadap bidang tanah yang sudah ada haknya dilakukan dengan cara peralihan hak.
Ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985, Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presisen 65 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dengan menggunakan konsep hukum pengadaan tanah menurut pendapat saya kurang tepat. Manusia tidak pernah mengadakan tanah, tanah diseluruh Indonesia sudah ada sebelumnya yang merupakan karuni Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana diuraikan. Pasal 1 ayat 2 UUPA bahwa seluruh bumi, air, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Yang dimaksud tanah adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat 1 UUPA). Sebagaimana diketahui bahwa tanah adalah pengertian tentang sebuah konsep. Sedangkan yang dapat diadakan adalah hak atas tanah. Dengan demikian konsep pengadaan tanah adalah tidak tepat, sedangkan konsep pengadaan hak atas tanah hanya tepat digunakan apabila cara yang digunakan itu adalah melalui proses permohonan hak terhadap tanah negara.
Konsep pembebasan tanah sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 5 Tahun 1975 juga kurang tepat. Konsep pembeasan tanah dalam peraturan ini tidak sama dengan pencabutan hak. Dalam Permendagri tersebut pembebasan tanah di definisikan melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. Definisi tersebut adalah lebih tepat digunakan untuk mendefinisikan pelepasan hak. Kegiatan pelepasan hak adalah bagian dari proses perolehan hak atas tanah.
Konsep penyediaan tanah yang didefinisikan setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah bagi keperluan perusahaan dengan memberi ganti kerugian kepada yang berhak, merupakan konsep yang kurang tepat. Menurut pendapat saya terdapat kontradiksi antara definisi dengan konsepnya. Konsep penyediaan memberikan pengertian kita bahwa tidak diperlukan usaha untuk mendapatkan atau untuk memperoleh hak atas tanah, karena sudah disediakan. Namun didalam definisinya menyebutkan kegiatan untuk mendapatkan tanah, yang tentunya ada usaha dan kegiatan untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut. Disisi lain dalam pembangunan khususnya pembangunan perumahan rasanya tidak ada tanah yang telah disediakan oleh pihak lain, akan tetapi pasti didahului oleh usaha-usaha untuk memperoleh hak atas tanah.
Konsep pencabutan hak atas tanah dapat dibenarkan dalam rangka usaha perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Jadi konsep pencabutan hak ini hanya ditujukan terhadap usaha perolehan hak atas tanah, terhadap bidang tanah yang sudah ada haknya dan kemudian dicabut untuk dijadikan tanah negara. Baru dilakukan upaya pengadaan hak.
Jadi dengan demikian konsep yang tepat digunakan dalam rangka memperoleh hak atas tanah adalah konsep perolehan hak atas tanah. Konsep perolehan hak atas tanah ini lebih luas apabila dibandingkan dengan konsep hukum pengadaan hak atas tanah. Karena konsep perolehan hak atas tanah bisa dilakukan terhadap tanah yang sudah ada haknya yaitu dengan cara peralihan hak misalnya jual beli atau tukar menukar dan dengan cara pelepasan hak yang ditindaklanjuti dengan permohonan hak. Sedangkan terhadap tanah negara langsung dapat dilakukan permohonan hak.
Definisi yang ada dalam Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam rangka Penanaman Modal adalah sudah tepat, akan tetapi konsep yang digunakan adalah kurang tepat karena karena menggunakan konsep perolehan tanah bukan perolehan hak atas tanah. Dalam pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri tersebut menyebutkan bahwa perolehan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah melalui pemindahan hak atas tanah atau dengan cara penyerahan atau pelepasan hak atas tanah dengan pemberian ganti kerugian kepada yang berhak.
Jadi dari berbagai konsep yang ada diatas dapatlah disimpulkan bahwa konsep perolehan hak atas tanah adalah konsep yang tepat karena konsep tersebut mencakup usaha perolehan hak atas tanah baik terhadap tanah yang berasal dari tanah negara ataupun tanah yang sudah ada haknya.

C.3. Perbandingan Konsep Hukum Dalam Perolehan Tanah Dengan Malaysia
Sebagai suatu perbandingan perlu dikemukakan mengenai land acquaisition di Malaysia. Pengaturan land acquaisition di Malaysia diatur dalam Land Acquisition Act 1960 sebagaimana telah direvisi pada tahun 1985. Di Malaysia land acquisition diterjemahkan dengan pengambilan tanah. Sebagaimana halnya di Indonesia, pengambilan tanah di Malaysia mengatur bahwa bagi pihak yang memerlukan tanah tersebut harus memberikan ganti kerugian. Hal ini sebagaimana di atur dalam Pasal 13 Land Acquisition Act yang menyebutkan bahwa:
1) No person shall be deprived of property save in accordance with the law
2) No law shall provide for the compulsory acquisition or use of property without adequate compensation.
Di Malaysia Undang-Undang Pengambilan Tanah diperlukan karena dua alasan yakni pemilik tanah tidak mau dipisahkan dari tanahnya berapapun harga yang ditawarkan kepadanya dan selain itu juga karena tanah yang dikuasainya merupakan subyek kategori penggunaan tanah tertentu sedangkan pihak berwenang memiliki rencana yang berbeda terhadap tanah itu. Dengan adanya Undang-Undang Pengambilan tanah itu maka kedua masalah itu dapat diatasi dan dengan demikian program-program pembangunan pemerintah akan dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Sebagaimana dekemukakan oleh HJ. Salleh Hj. Buang bahwa a law providing for compulsory acquisition of private land is necessary because of two main reasons. Firstly, the owner is unwiling to part with his property whateger may be the price that he is offered, and secondly, the land to be acquired may be currently subject to a certain category of land use whilst the authorities might have a defferent pland for it.
Pengambilan tanah di Malaysia seperti halnya di Indonesia dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan tanah dalam rangka pelaksanaan pembangunan. Hanya saja di Indonesia pengadaan tanah dibedakan antara pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum. Di Indonesia pembedaan itu sangat nampak apabila ditinjau dari adanya pelaksana dari pengadaan tanah tersebut. Pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah. Sedangkan untuk pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum tidak diperlukan adanya bantuan dari Panitia Pengadaan Tanah.
Di Malaysia pembedaan itu tidak nampak. Dalam pengambilan tanah secara paksa dilakukan oleh otoritas negara. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Hj Salleh Hj. Buang bahwa In Malaysia , only the State Authority can acquired lands compulsorily. Teo Keang Sood dan Khaw Lake Tee mengemukakan bahwa The compulsory acquisition of land by the State Authority. Sedangkan pengambilan tanah yang dapat dilakukan oleh otoritas negara adalah untuk keperluan:
1) Bagi kepentinan umum
2) Bagi seseorang atau perusahaan yang menjalankan sebuah pekerjaan dimana menurut otoritas negara yaitu untuk kemanfaatan umum.
3) Untuk tujuan pertambangan atau perumahan, pertanian, perdagangan atau industri.
Hal ini sebagaimana dimuat dalam pasal 3 Undang-Undang Pengambilan Tanah Tahun 1960 yang menyatakan bahwa land may be acquired by the State Authority which is needed:
1) For any public porpose
2) By any person or corporation undertaking a work which in the opinion of the State Authority is of public utility, or
3) For the purpose of mining or for residential, agricultural, commercial or industrial purposes.
Berkaitan dengan cara penentuan ganti kerugian, pada tahap awal sebelum melakukan kegiatan pengambilan tanah maka pihak yang memerlukan mengajukan rencana pembangunan tersebut kepada pihak yang berwenang. Apabila hal tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan di atas maka harus diumumkan dalam surat kabar yang isinya bahwa semua tanah yang tercantum dalam pengumuman tersebut akan digunakan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan dalam Pasal 3. Pengumuman tersebut berlaku selama 2 tahun. Dalam masa pengumuman itulah maka siapa yang merasa keberatan dapat mengajukan keberatan. Semua laporan dan keberatan yang disampaikan lebih dari batas waktu tersebut tidak berlaku. Sebagaimana dikemukakan oleh Hj. Saleh Hj. Buang Thereafter, the collector must prepare and submit to the state Authority a plan of the whole area of the lands needed for acquisition and a list threof, in accordance with Form C. When this has been done, and the State Authority has decided that any of leand referred to in section 7 are required for any of the purposes reffered to section 3 , a declaration in Form D must then be published in the Qazette. A declaration made under section 8 (1) will lapse and cease to have any effect on the expiry of 2 years afte the date of the publicationin the Gazette.
Ganti kerugian (compensation) yang dibayarkan harus dilakukan secara layak untuk semua pengambilan tanah. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang pengambilan tanah bahwa dalam menentukan kompensasi terhadap tanah yang dikuasai maka harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a) Nilai pasar sebagaimana ditetapkan menurut pasal 1 dari skedul pertama Undang-Undang pengambilan tanah
b) adanya kenaikan nilai properti lain milik orang terkait yang mungkin bertambah penggunaannya terhadap tanah yang dikuasai
c) bila ada kerugian yang diderita atau mungkin dialami oleh seseorang dengan alasan besarnya tanah yang dikuasai dari propertinya yang lain.
d) Bila ada kerugian yang diderita atau mungkin dialami oleh seseorang dengan alasan bahwa pembelian tanahnya secara merugikan mempengaruhi propertinya yang lain atau pendapatannya.
e) Akibat dari pembelian tanahnya, bila ia dipaksa berpindah tempat atau berpindah usaha, maka harus ada biaya yang layak untuk kepindahannya
f) Bila hanya sebagian tanah yang dikuasai, segala tindakan yang dilakukan pihak terkait dalam membangun jalan, saluran, dinding, pagar atau fasilitas yang menguntungkan sebagian tanah yang tidak dikuasai, asalkan tindakan itu jelas dan dapat dilaksanakan.
Pasal 3 Skedul Pertama Undang-Undang pengambilan tanah menetapkan adanya hal-hal yang tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan jumlah kompensasi, yaitu :
a. Tingkat kemendesakan pengambilan tanah
b. Ada keenggenan pemilik untuk berpisah dari tanahnya.
c. Adanya kerugian yang dialami yang bukan merupakan penyebab perilaku yang baik, bila ditimbulkan oleh seseorang secara pribadi.
d. Terjadinya depresiasi nilai lahan yang dikuasai akibat penggunaan tanah ketika tanah itu dikuasai
e. Terjadinya kenaikan nilai tanah yang dikuasai yang menambah penggunaan tanah ketika tanah itu dikuasai
f. Timbulnya biaya tambahan atau biaya perbaikan tanah yang dikuasai yang terjadi setelah tanggal penerbitan pengumuman menurut pasal 8, kecuali biaya tambahan atau biaya perbaikan dipersatukan untuk pemeliharaan bangunan, dan bila tanahnya berupa lahan pertanian, maka biaya tersebut dibutuhkan untuk pengolahan sampai panen.
Dalam hal pihak pemegang hak atas tanah tidak puas terhadap bentuk dan besarnya ganti kerugian maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Dari uraian tersebut maka nampak bahwa konsep pengambilan tanah (land acquisition) di negara Malaysia mencakup untuk kepentingan umum maupun selain kepentingan umum.

C.4. Perbandingan Konsep Hukum Dalam Perolehan Tanah Dengan Belanda
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan di Belanda diatur usaha usaha untuk memperoleh hak atas tanah, sebagaimana diatur dalam Buku 3 Titel 4 NBW. Dalam peraturan perundang undangan Belanda ditemukan konsep hukum verkrijging. Dalam bahasa Inggris setara dengan acquisition. Di dalam Buku 3 Pasal 80 NBW disebutkan bahwa:
1) Men kan goederen onder algemene en onder bijzondere titel verkrijgen.
2) Men verkrijgt goederen onder algemene titel door erfopvolging en door boedelmenging.
3) Men verkrijgt goederen onder bijzondere titel door overdracht, door verjaring en door onteigening en voorts op de overige bij landsverordening voor iedere soort aangegeven wijzen van rechtsverkrijging
4) Man verliest goederen op de voor iedere soort bij landsverordening aangegeven wijzen

Dalam terjemahan bahasa Inggris
1) Property is acquired by general and by particular title.
2) Property is acquired by general title through inheritance and by confusion of patrimonies (intermixture of estate).
3) Property is acquired by particular title by transfer, prescription, expropriation and in any other manner of acquisition of rights provided by National Ordinance according to its type
4) Property is lost in the ways provided by National Ordonance according to its type.

Dari uraian Pasal 80 Buku 3 NBW tersebut maka perolehan hak (verkrijging/acquisition) dapat dikelompokkan menjadi dua yakni pertama, perolehan melalui hak umum yang dalam hal ini pewarisan dan kedua, perolehan melalui hak khusus yang terdiri dari pemindahan hak, karena keadaan daluarsa, dan karena pencabutan hak (onteigening/expropriation).
Onteigening/expropriation adalah merupakan bagian dari proses perolehan hak (verkrijging/acquisition) dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai ganti kerugian, yang dalam hal ini diperuntukkan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Neufeldt sebagaimana dikutip oleh Gerhard Navratil, Andrew U Frang mengemukakan bahwa expropriation is to take land from its ownwr: esp., to take for public use or in the public interest, as by right of eminent domain’. Dari pendapat tersebut jelas bahwa expropriation hanya digunakan untuk kepentingan umum saja. Dalam expropriation merupakan pengambilan hak atas tanah seseorang tanpa persetujuan pemilik untuk kepentingan umum dan diberikan ganti rugi. Sebelum prosedur expropriation dilakukan maka pemerintah berusaha memperoleh hak atas tanah melalui negosiasi dengan pemilik tanah. Jika dalam negosiasi tidak mendapatkan kesepakatan, maka prosedur expropriation diterapkan.
Sebagaimana diketahui pengaturan mengenai tanah masuk property law. Dalam Buku 5 NBW benda di bedakan antara benda bergerak (roerande zaken/moveable things) dan tidak bergerak (onroerende zaken/immoveable). Tanah masuk dalam benda tidak bergerak. Konsep utama dalam Hukum Properti adalah eigendom (kepemilikan), seperti dalam hukum Perancis atau Jerman. Berdasarkan Pasal 1 Buku 5 NBW, hak ini digolongkan sebagai ”hak paling komprehensif dimana seseorang bisa memiliki dalam suatu benda”,
Sebelum NBW diberlakukan maka pencabutan hak (onteigening) juga sudah diberlakukan. Onteigening yang berlaku sebenarnya didasarkan pada penghormatan yang sangat tinggi pada hak milik (eigendom). Sebagaimana diatur dalam Pasal 570 BW Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau perauran umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi. Hak milik atas sebidang tanah mengandung didalamnya, kepemilikan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah. Di atas tanah si pemilik tanah dapat mengusahakan segala macam tanaman dan mendirikan bangunan yang dikehendaki, dengan tanpa mengurangi beberapa pengecualian yang terdapat dalam bab keempat dan keenam Buku 2 BW. Sedangkan di bawah tanah pemegang hak boleh membuat dan menggali sesuka hati dan memiliki segala hasil yang diperoleh karena penggalian itu, dengan tidak mengurangi akan perubahan-perubahan yang kiranya harus di diadakan berhubung dengan perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang pertambangan, pengambilan bara, sampah terpendam dan sebagainya. (Pasal 571 BW). Ketentuan mengenai hak atas tanah di Belanda tersebut berbeda dengan yang ada dalam UUPA. Dalam UUPA pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanah tersebut demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung dengan penggunaan tanah tersebut, dalam batas batas yang ditentukan dalam UUPA dan peraturan yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat 2 UUPA).
Perbedaan tersebut diatas dapat dipahami karena terdapat perbedaan politik hukum pertanahannya juga berbeda. Setiap Negara mempunyai tujuan untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya, hanya saja di Indonesia untuk mencapai kemakmuran tersebut, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara. Hal ini sesuai dengan dasar konstitusional politik hukum agraria nasional yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Jadi hubungan antara negara dengan tanah adalah hubungan penguasaan. Bahkan secara tegas disebutkan dalam Penjelasan Umum II angka (2) UUPA yang menyatakan bahwa UUPA berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak perlu dan tidaklah pada tempatnya bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat kalau Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia bertindak sebagai Badan Penguasa. Dengan ketentuan ini maka ada tanah-tanah yang sudah berupa tanah hak, ada tanah yang berstatus tanah Negara.
Hal ini sangat berbeda dengan yang ada di Belanda. Di Belanda setiap benda termasuk tanah pasti ada pemiliknya. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 520 BW, pekarangan dan kebendaan tak bergerak lainnya yang tidak terpelihara dan tiada pemiliknya, sepertipun kebendaan mereka yang meninggal dunia tanpa ahli waris atau yang warisannya telah ditinggalkan adalah milik negara..
Setelah berlakunya NBW keadaannya juga tidak jauh berbeda. Sehingga semua tanah di wilayah Belanda saat ini juga ada pemiliknya. Dalam hal tanah tidak ada pemiliknya maka menjadi milik otoritas wilayah pulau dimana benda itu berada. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Jo Pasal 26 Buku 5 NBW. Pasal 24 Buku 5 NBW menyebutkan “onroendere zaken die geen andere eigenaar hebben, behoren toe aan het eilandgebied waar zij zijn gelegen”.
Wilayah pulau meliputi pantai, tanah yang ada di perairan pedalaman dan juga pulau-pulau kecil dan daratan yang ada di wilayahnya. Dalam hal penggunaan wilayah tersebut perlu mendapat persetujuan oleh penguasa pulau. (Pasal 26 Buku 5 NBW).
Dari ketentuan yang ada baik dalam masa berlakunya BW maupun setelah berlakunya NBW, maka penghormatan hak milik atas tanah di Belanda sangat tinggi. Dengan begitu tingginya penghormatan hak milik seseorang maka proses onteigening-pun memerlukan prosedur yang sangat rumit.
Atas dasar ketentuan diatas maka dalam hal kegiatan perolehan tanah (land acquisition) untuk pembangunan maka dapat ditempuh melalui pemindahan hak yang dalam hal ini cara jual beli hak atas tanah atau melalui permohonan hak kepada pemilik tanah, yang kemudian diberikan dengan hak erfpacht.
Sedangkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tanah dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum ketika tidak tercapai kesepakatan mengenai ganti kerugian maka dilakukan upaya pencabutan hak atas tanah (onteigening/expropriation). Dari uraian di atas maka dalam kaitannya pengaturan kegiatan memperoleh hak atas tanah ditemukan ada dua konsep yaitu verkrijging/acquisition dan onteigening/expropriation.


D. Kesimpulan
Terdapat berbagai konsep yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu konsep hukum penyediaan tanah, pembebasan tanah, pengadaan tanah, perolehan tanah dan pencabutan hak atas tanah. Diantara berbagai konsep tersebut yang paling tepat adalah konsep perolehan hak atas tanah. Hal ini di dasarkan pada hubungan antara negara dengan tanah yakni hubungan penguasaan.. Atas dasar hubungan tersebut maka terdapat tanah yang berstatus tanah negara dan ada tanah yang berstatus tanah hak. Konsep hukum perolehan hak atas tanah dapat dilakukan terhadap tanah yang belum ada haknya (tanah negara) maupun tanah yang sudah ada haknya. Terhadap bidang tanah yang belum ada haknya perolehan hak atas tanah dilakukan dengan cara permohonan hak. Sedangkan terhadap bidang tanah yang sudah ada haknya dilakukan dengan cara peralihan hak. Dalam hal tanah berstatus tanah hak dilepaskan maka statusnya menjadi tanah negara maka perolehannya juga dengan permohonan hak. Konsep hukum perolehan hak atas tanah ini lebih luas apabila dibandingkan dengan konsep hukum pengadaan hak atas tanah. Karena konsep hukum pengadaan hak atas tanah hanya tepat digunakan apabila tanah yang dikehendaki adalah tanah negara dan bukan tanah hak.
Translation - English
A. Introduction
Land acquisition is inevitable in development activities. Viewed from the laws and regulations perspective, especially from the Basic Agrarian Law (BAL), actually there is a distinction between provisions regulating the acquisition of land right in the public interest and provisions governing the acquisition of land right for other than public interest. In relation with the acquisition of land in the public interest, there are two important articles, namely Article 18 and Article 6. Article 18 states that for public interest, including the interest of the nation as well as the common interest of the people, land rights may be revoked by giving adequate compensation in the manner set forth in the Law. The elucidation of Article 18 states that this article constitutes a guarantee for the rights of the people to land. Expropriation is possible but it must, for example, be accompanied by a proper compensation. Pursuant to Article 18 of the law, Law No. 20 of 1961 on Expropriation of Land and the Properties Thereon was issued.
If understood, the provisions under Article 18 of the BAL and Law No. 20 of 1961 only concern the procurement of land in the public interest. Hence, it can be seen that in order to carry out development for public interest, a person or legal entity holding the titles must be willing to release their land. This is in accordance with the provision set forth in Article 6 of BAL stating that all land rights have a social function. Hal ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. [Saya tidak paham kalimat ini -penerjemah] Land use must be in line with the circumstances and nature of the title so that it benefits both the owner's well being and happiness, and the community and the state. This does not mean that individual rights will be overridden entirely by the public interest. Therefore, persons or legal entities whose land is affected by development projects in the public interest are entitled to adequate compensation. Consequently, there will be a balance between private interest and public interest so that the ultimate goal of prosperity, justice and happiness for all people hopefully could be achieved.
Regulations on land procurement in the public interest have undergone various changes. The following are the various regulations: Minister of Home Affairs Regulation (Permendagri) No. 15 of 1975 on the Provisions on the Procedures for Land Acquisition; Presidential Decree No. 55 of 1993 on Land Acquisition for Development Activities in the Public Interest which is revised by Presidential Decree No. 36 of 2005 on Land Procurement for the Implementation of Development in the Public Interest which was later amended by Presidential Decree No. 65 of 2006; and Law No. 2 of 2012 on Land Procurement for Development in the Public Interest. These various changes are expected to increase respect for land rights of individuals. For example, Permendagri No. 15 of 1975 was revoked by Presidential Decree No. 55 of 1993 because the regulation is considered to have disrupted the stability of land market pricing.
The BAL does not explicitly regulate land procurement for other than public interest. Viewed closely, however, some articles of the law regulate the transfer of various land rights. For example, Article 20 Paragraph 2 regulates the transfer of land ownership, Article 28 Paragraph 3 regulates the transfer of right to exploit, Article 35 Paragraph 3 regulates the transfer of right to build, and Article 43 regulates the transfer of right to use. In case of land acquisition for other than public interest, one way that can be done is by way of transfer of right, e.g. sale or swap. Until now there are no laws governing the land procurement for other than public interest. Various regulations existing so far are sectoral in nature. For example, Ministry of Home Affairs Regulation (Permendagri) No. 5 of 1974 on Stipulations on Provision and Giving of Land for Corporations; Permendagri No. 3 of 1987 on the Supply and Granting of Land Rights to Housing Development Companies; Permendagri No. 12 of 1984 which is an amendment to Permendagri No. 3 of 1984 on the Procedures for Land Provision and Granting of Land Rights, granting of a building permit and nuisance permit for companies that are investing according to Law No. 1 of 1967 and Law No. 6 of 1968.
In addition to the above various regulations, there is also State Minister of Agrarian/Head of BPN Decree No. 21 of 1994 on Land Acquisition Procedures for Companies in the Context of Investment. Based on this decree it can be concluded that the acquisition of land is made directly by both the company and the owner or holder of land rights on the basis of an agreement that can be performed by transfer of land rights or through the release or transfer of rights over the land which is followed by the assignment of rights.
In the laws and regulations mentioned above, clearly there are various concepts used, where some concepts are defined with the same definitions but other concepts are defined differently. These concepts include the concepts of indirect transfer of title (pembebasan tanah), land provision (penyediaan tanah), land acquisition (perolehan tanah), land procurement (pengadaan tanah) and expropriation. Law No. 10 of 2004 on the Formulation of Laws and Regulations expressly states that:
"The language of laws and regulations is basically subject to the rules of Indonesian language (Bahasa Indonesia) in terms of word formation, sentence formation, writing techniques, and the drafting, but the language of laws and regulations has its own style that reflects the precision or clarity of understanding, simplicity, standard, harmony and obedience to principle in line with legal needs." The same law states that the following shall be avoided:
a. Using several terms for the same single thing.
b. Using a single term for several different things.

Therefore, we need a study on the right legal concepts in order to provide legal certainty.

B. Research Question
Based on the description above, this study will answer the question: what are the right legal concepts to be used in laws and regulations governing the acquisition of land for development?

C. Discussion
C. 1 The Nature of Legal Concepts
The word "concept" comes from the Latin conceptus which means the fruit of ideas. Concept is associated with an object or a symptom, not the object or phenomenon itself, but an idea that is only imagined and defined. Concept is a reality in the realm of human ideal which is present as a descriptive construct of an empirical reality in its symbolic and abstract forms.
To operate, law uses concepts. The concepts used are intended to formulate its many definitions, including their variety and differences, into a single term only. By legislation makers, the concepts are used to succinctly describe what to be covered in a law. For example, the concept of "deliberation" is a succinct term to denote the process or activity of mutually listening to each other where each party is receptive of the other party's opinions based on goodwill of both the land right holder and those needing the land to obtain an agreement on the form and amount of the compensation. Another example is the concept of "land registration", which is the term to mean a series of activities continuously, constantly, and regularly undertaken by the government covering the collection, processing, bookkeeping, presentation and maintenance of physical and juridical data in the form of maps and lists of land plots and apartment units, including the evidence of land ownership and strata titles as well as certain rights on the properties. Another example is the concept of "juridical data", a concise term which means information on land plots' legal status, the right holder and other parties as well the legal burdens on the land.
Satjipto Rahardjo states that a legal concept should refer to the empirical elements underlying it. A concept should also be meaningful. A noise produced by human being but containing no message at all cannot be called as a concept.
Kaplan, as quoted by Satjipto Rahardjo, argued that a concept spontaneously forms a certain definition in the heads of the people who catch it, hence it is referred to as "meaningful". As knowledge, as mentioned above, to be able to have such a sense, a concept must be empirical or based on experience. Returning it to experience is a test for the truth of the concept's meaning.
Next, Satjipto Rahardjo argued that a legal concept should have an empirical basis. These legal concepts will be a measure to assess and judge reality, especially human actions. On this basis alone, actually any legal concept in itself should have an empirical relevance. Such is the relationship between concept and reality.
The making of concepts or definitions enables a universal dimension to enrich the accumulated theoretical and practical knowledge because the notions can be translated into various languages as far as the languages concerned allow it.
A definition is necessary to provide a limitation of the concept so that it will be able to provide a clear understanding to the reader or listener about what is the meaning of certain words. Given this limitation, anyone saying the word will be able to provide a common understanding on the listener about the concept. Accordingly, with a definition a concept's limitations are expected to be spelled out clearly.
Therefore, it is necessary to have a clear concept, especially in the field of law, because it will facilitate understanding of law and could ultimately give legal certainty.

C.2. Analysis of Legal Concepts of Land Provision, Indirect Transfer of Title,
Land Procurement, Land Acquisition and Land Expropriation
To determine the most appropriate legal concept to use, first we have to study the legal relationship between the state and land in agrarian laws in Indonesia. As described earlier, the relationship between the state and land is the relationship of control as stipulated in Article 33 Paragraph (3) of the 1945 Constitution in conjunction with Article 2 of Basic Agrarian Law (BAL). On the basis of this relationship, the state can grant land rights to both individuals and legal entities. Thus, the existing plots of land that have been owned are called the land of right, while the land on which absolutely no one has right is called state land.
The term "state land" originated from the days of the Colonial Dutch. In accordance with the concept that the ruler (the Dutch East Indies Government) was the owner of land, the Government issued a declaration known as Domein Verklaring.
The declaration of state ownership over land was issued as a revitalization of the feudal relationship in the past, a relationship which had been exploited by the Vereenigde Indesche Oost Compagnie (VOC) and maintained in the reign of Raffles (1811-1816), and further strengthened by domein verklaring in Agrarisch Besluit (Stb. 1870 No. 118) as an implementing regulation of the Agrarische Wet (stb. 1870 N. 55) stipulating that all the land on which nobody can prove ownership belongs to the state.
In practice of land laws, this domein verklaring declaration served as the legal basis for the government representing the state as the owner of all land, to grant Western land rights as set forth in the Civil Code such as the erfpacht (long lease) right and opstal (premises) right. In addition, it also served a function in proving ownership.
Consequently, the domein verklaring detrimentally affected the land rights held by the people individually and collectively such as the communal title of traditional communities, because different from Western land rights, indigenous land in general has no evidence of ownership. Within the concept of state domain, the communal title of indigenous people was called restricted state land (onvrij landsdomein), because the land has already been covered with right, but beyond that, all other land was referred to as free state land (vreij landsdomein).
After Indonesia independence there was Government Regulation No. 8 of 1953 on State Land Ownership. This regulation was issued at the time of the Temporary Constitution. At this time the Basic Agrarian Law (BAL) was yet to be conceived, thus state land in this regulation was the land referred to in the Agrarisch Besluit.
The rationale for the issuance of this regulation was to reorganize the confusing overlaps in the field of state land control in general. The chaos was initiated during the Japanese occupation. As mentioned in Point 5 of the General Elucidation of the Government Regulation No. 8 of 1953:
"To accelerate the war efforts, the various agencies under the Japanese occupation government were given full discretion to manage their own affairs. As a result, in land affairs, those agencies did everything at will by ignoring existing regulations. There was so much state land that was used for purposes that deviated from the originally predetermined purposes or land that changed hands from one agency to another without an official receipt and official minutes of transfer. Much of the state land was also abandoned by the agencies that did not need it any more. Furthermore, agencies often bought land from the population without adhering to the existing regulations and knowing which agencies owned the lands".

It turned out that the chaotic actions of these various agencies carried on until well after the end of Japanese occupation. The confusion over state land control generally could not be overcome by Stb. 1911 No. 110. The only way was to establish new rules to reorganize the chaotic affairs of state land control. Therefore the Government Regulation No. 8 of 1953 was issued.
Article 1 Point a of Government Regulation No. 8 of 1953 specifies that state land is the land that is fully controlled by the state. Further, Point 1 of the General Elucidation of Government Regulation No. 8 of 1953 states:
"According to domein verklaring which was, among other things, stated in Article 1 of Agrarisch Besluit, all the land that is entirely free from the rights of individuals (whether this is based on Indonesian traditional law or Western law) is considered to be a vrij landsdomein meaning the land is fully owned and controlled by the state. Such land is the one this Government Regulation calls 'state land'."
Domein verklaring existence was indeed very detrimental to the interest of landowners because its only benchmark was written evidence.
Maria S.W. Sumardjono said that in the aforementioned Government Regulation, state land is the land that is fully owned and controlled by the state which includes all land that is entirely free from individual rights whether these rights are based on customary law or Western law. State land ownership is put in one hand, and the agency entrusted with this is the Home Affairs Ministry. As a consequence, state land that is no longer needed or used by agencies in accordance with their duties must be returned to the Minister of Home Affairs.
After the birth of the Basic Agrarian Law (BAL), the relationship between the state and lands is no longer that of ownership but control. The state's right to control includes the right to control earth, water and space, including the natural resources contained therein. According to Maria S.W. Sumarjono, with the birth of the BAL, state land in question is the land that is not covered with any right, whether it is fee simple, right to exploit, right to build, right to use on state land, right of management, communal title or a bequest. The scope of state land includes:
a. Land that is voluntarily handed over by the owner.
b. Land that is expired and not extended.
c. Land whose right holder dies without an heir.
d. Abandoned land.
e. Land taken for public use in accordance with the procedures for expropriation as stipulated in Law No. 20 of 1961 and land procurement as regulated by Presidential Decree No. 55 of 1993 (now Law No. 2 of 2012).

The handing over of land by the owner to become state land often occurs in the activities of land acquisition in which the party who needs the land cannot become a subject of land right.
Expired land which is not extended relates to the land that is limited by a period of time, such as the right to exploit (HGU), the right to build (HGB), and the right to use with a limited period. The right holder is entitled to applying for right extension when it is due. But if the right holder does not apply for an extension and the land was from the state, it will become state land again. Similarly, the land will become state land if the right holder dies without leaving an heir.
In relation to abandoned land, it is stipulated in Government Regulation No. 11 of 2010. According to this regulation, the objects of abandoned land reorganization is land that has been granted by the state in the form of fee simple (hak milik), right to exploit (HGU), right to build (HGB), right to use (hak pakai), and right of management (hak pengelolaan), or control over a land that is not cultivated, not used, or not utilized according to the conditions, or the nature and the objective of government's granting the right. The Head of Regional Land Agency may propose to the Head of National Land Agency (BPN) that this land is declared as abandoned land and that any right on the land is revoked. This declaration at the same time asserts that the land is state land.
It is therefore clear that state land is the one that is absolutely free in the sense that no other party's right exists on it. This land can be given to a person or legal entity that needs it.
Regarding efforts to acquire land rights, the following schemes can be described:
























Acquisition of Land Rights



From the description above, it can be concluded that efforts to obtain land rights can be done over either land with existing rights or no rights. The right concept for obtaining land rights by applying rights on state land is the procurement of land rights (underline from the author). I say that procurement of land rights is appropriate because the object of the application is state land, meaning there is no right on it. While towards a plot of land with title on it, transfer of title is the method.
The concept of "land procurement" in Minister of Home Affaris Regulation No. 2 of 1985, Presidential Decree No. 55 of 1993 and Presidential Decree No. 36 of 2005 as amended by Presidential Decree No. 65 of 2006 and Law No. 2 of 2012 in my opinion is not quite right. Humans have never procured (i.e. created) land, as land in Indonesia has been around since time immemorial which is a gift of God Almighty. As described in Article 1 Paragraph 2 of the BAL, the whole earth, water and natural resources contained therein within the Republic of Indonesia is a gift of God Almighty. The definition of land is the earth's surface (Article 4 Paragraph 1 of the BAL). As we know "land" is a definition of a concept. Meanwhile, what can be procured is the right to land. Thus the concept of land procurement is not appropriate, while the concept of procurement of land rights is appropriate only if the process is through the application for rights towards state land.
The concept of "indirect transfer of title" (pembebasan tanah) as stipulated in Permendagri No. 5 of 1975 is also less than precise. The concept of "indirect transfer of title" in this regulation is not the same as expropriation. In the Permendagri "indirect transfer of title" is defined as terminating the relationship between the right holder and his land by giving compensation. This definition is more appropriate to be used to define "expropriation". The activity of expropriation is one of the processes in land right acquisition.
The concept of "provision of land" which is defined as every activity to obtain land for companies by giving compensation to those entitled is not quite right. In my opinion, the definition contradicts the concept. The concept of "provision" gives us the sense that no effort is required to obtain right to land, because the land is already provided. But the definition mentions activities to obtain land, which certainly include efforts and activities to obtain the right over the land. On the other hand, especially in the construction of housing complex, it seems that no land will be provided by other parties, but it is certainly preceded by efforts to obtain land rights.
The concept of land expropriation may be justified in order to attempt acquisition of land right in the public interest. Hence, this concept of expropriation is only for land acquisition over an existing plot with right on it and this right is to be revoked and converted into state land. After that, procurement of land rights is conducted.
Consequently, the appropriate concept for obtaining land rights is the concept of land right acquisition. The concept of land right acquisition is broader than the legal concept of land right procurement. Since acquisition of land right could be made to land with a right on it by way of transfer of rights such as sale or swap and by way of a release of right followed with application of right. While towards state land, people can directly apply for right.
The definition contained in the Minister of Agriculture Decree No. 21 of 1994 on Land Acquisition Procedures for Companies in the Context of Investment is already right, but the concept used is not appropriate because it uses the concept of acquisition of land instead of acquisition of land rights. Article 1 Point 1 of the decree states that the acquisition of land is any activity to gain land through the transfer of land rights or by way of land delivery or land expropriation by giving compensation to those entitled.
From a variety of existing concepts above, we conclude that the concept of acquisition of land rights is the right concept because it includes efforts of acquisition of land rights both on state land and the land that already has right on it.

C.3. Comparison with Legal Concepts of Land Acquisition in Malaysia
As a comparison, we will discuss land acquisition in Malaysia. Regulations on land acquisition in Malaysia are set forth in the Land Acquisition Act of 1960, as revised in 1985. In Malaysia, land acquisition is translated as pengambilan tanah (land taking). As in Indonesia, land acquisition in Malaysia stipulates that the party doing the acquisition must give compensation. It is stipulated in Article 13 of the Land Acquisition Act that:
1) No person shall be deprived of property save in accordance with the law
2) No law shall provide for the compulsory acquisition or use of property without adequate compensation.
In Malaysia, Land Acquisition Act is necessary for two reasons: first, the land owner does not want to be separated from his land regardless of the price offered to him and second, his land is under a specific land use category, while the authorities have different plans for the land. With the Land Acquisition Act, the two issues can be resolved and thus the government's development programs will be implemented as planned. As described by HJ. Salleh Hj. Buang, a law providing for compulsory acquisition of private land is necessary because of two main reasons. Firstly, the owner is unwilling to part with his property whatever may be the price that he is offered, and secondly, the land to be acquired may be currently subject to a certain category of land use whilst the authorities might have a different plan for it.
Acquisition of land in Malaysia, like in Indonesia, is conducted in order to meet land needs in the implementation of development. However, in Indonesia land acquisition in the public interest is distinguished from land acquisition for other than public interest. In Indonesia, the difference is clear when viewed from the executor of land acquisition. The acquisition of land in the public interest is done with the help of Land Acquisition Committee. As for land acquisition in the non-public interest, the assistance of the Land Acquisition Committee is not required.
In Malaysia, the difference is not visible. Acquisition of land by force is carried out by the state authorities. This is as stated by Hj Salleh Hj. Buang that In Malaysia , only the State Authority can acquired lands compulsorily. Teo Keang Sood and Khaw Lake Tee say The compulsory acquisition of land by the State Authority. Whereas, the acquisition of land done by the state authorities is for the following purposes:
1) In the public interest
2) For a person or company that runs a job which, according to the state authorities, is for the public benefit.
3) For mining or for residential, agricultural, commercial or industrial purposes.
Article 3 of Land Acquisition Act of 1960 states that land may be acquired by the State Authority which is needed:
1) For any public purpose
2) By any person or corporation undertaking a work which in the opinion of the State Authority is of public utility, or
3) For the purpose of mining or for residential, agricultural, commercial or industrial purposes.
In relation with the method of determining the amount of compensation,, before land acquisition is conducted, the needing party should submit the development plan to the authorities. If it is in line with the objectives above, the plan should be announced in newspapers saying that all the land in this announcement will be used in accordance with the objectives specified in Article 3. The announcement is valid for 2 years. Within these two years anyone who objects to it could raise objections. All reports and objections submitted beyond this time limit are invalid. As stated by Hj. Saleh Hj. Buang Thereafter, the collector must prepare and submit to the state Authority a plan of the whole area of the lands needed for acquisition and a list threof, in accordance with Form C. When this has been done, and the State Authority has decided that any of leand referred to in section 7 are required for any of the purposes reffered to section 3 , a declaration in Form D must then be published in the Qazette. A declaration made under section 8 (1) will lapse and cease to have any effect on the expiry of 2 years afte the date of the publicationin the Gazette.
Compensation paid has to be fair for all land acquisition. In accordance with Article 2 of Land Acquisition Act, in determining compensation for land the following matters should be considered:
a) The market value as defined under Section 1 of the first schedule of Land Acquisition Act
b) the increase in value of other properties belonging to the land owner may accrue to the land held
c) any loss suffered or likely to be experienced by a person because of the land controlled from other properties.
d) If there is a loss suffered or likely to be experienced by a person on the grounds that the purchase of the land is adversely affecting his other property or income.
e) If as a result of the purchase of the land he is forced to move or relocate his business, then there must be a decent fees for his move
f) If only part of the land is controlled, every action of the concerning parties in building roads, drains, walls, fences or facilities should benefit the land that is not controlled, as long as the action is clear and workable.
Article 3 of the First Schedule of the Land Acquisition Act establishes things that must not be taken into consideration in determining the amount of compensation, namely:
a. The urgency level of the land acquisition
b. The land owner' unwillingness to separate from his land.
c. Their losses were not the cause of good behaviour, when caused by someone personally.
d. The depreciation of the value of land held as a result of the use of the land when the land is owned
e. The increase in value of the land held that adds the use of land when the land is owned
f. The incurring of additional cost or reparation cost of the land controlled after the date of publication of the announcement according to Article 8, unless the additional costs or the cost of repairs are combined for the maintenance of buildings, and if the land is agricultural land, the cost is necessary for cultivation until harvest.
In the event that the holder of right to land is not satisfied with the form and the amount of compensation, he may file a lawsuit to the Court.
From this description it appears that the concept of land acquisition in Malaysia covers both the public interest and other than public interest.

C.4. Comparison with Legal Concepts of Land Acquisition in the Netherlands
For the implementation of development in the Netherlands, efforts are made to acquire land rights, as set out in Book 3 Title 4 of the NBW. In Dutch laws and regulations, there is a legal concept of verkrijging. This is equal to acquisition in English. Book 3 Article 80 of the NBW states:
1) Men kan goederen onder algemene en onder bijzondere titel verkrijgen.
2) Men verkrijgt goederen onder algemene titel door erfopvolging en door boedelmenging.
3) Men verkrijgt goederen onder bijzondere titel door overdracht, door verjaring en door onteigening en voorts op de overige bij landsverordening voor iedere soort aangegeven wijzen van rechtsverkrijging
4) Man verliest goederen op de voor iedere soort bij landsverordening aangegeven wijzen

Translated into English,
1) Property is acquired by general and by particular title.
2) Property is acquired by general title through inheritance and by confusion of patrimonies (intermixture of estate).
3) Property is acquired by particular title by transfer, prescription, expropriation and in any other manner of acquisition of rights provided by National Ordinance according to its type
4) Property is lost in the ways provided by National Ordonance according to its type.

From the description of Article 80 Book 3 of the NBW we know that the acquisition of rights can be grouped into two: first, the acquisition through a general entitlement, in this case inheritance, and second, the acquisition through special entitlement consisting of transfer of rights, expiry, and expropriation.
Expropriation is part of the process of acquisition of rights in case no agreement is reached on compensation, which in this case is for the implementation of development in the public interest. Neufeldt as cited by Gerhard Navratil, Andrew U Frang states that expropriation is to take land from its owner: esp., to take for public use or in the public interest, as by right of eminent domain’. From Neufeldt's statement it is clear that expropriation is used only for the public interest. Expropriation is the taking a person's land right without the consent of the owner in the public interest and the owner is given compensation. Before the expropriation procedure is done, the government attempts to acquire land rights through negotiation with the landowner. If the negotiation does not reach an agreement, expropriation procedure is applied.
As we know, regulations on land are part of property law. Book 5 of the NBW distinguishes moveable properties and immovable properties. Land is an immovable thing. The main concept of Property Law is eigendom (ownership), like in France and Germany laws. Under Article 1 Book 5 of the NBW, this right is classified as "the most comprehensive right which a person can have in a property",
Before the NBW was enacted, expropriation (onteigening) had also been applied. The prevailing onteigening is actually based on a very high respect for the ownership right (eigendom). As stipulated in Article 570 of the BW, ownership right is the right to enjoy the benefits of property freely, and to act independently on the property with full sovereignty, insofar as it is not contrary to law or general rules defined by the authorities, and not interfere with the rights of others without reducing the possibility of expropriation in the public interest based on the provisions of law and the payment of compensation. The ownership of a parcel of land includes the ownership of everything on and underneath it. On the land, the landowner may cultivate all kinds of plants and build any building he desires without reducing some exceptions contained in the fourth and sixth chapters of Book 2 of the BW. While underneath the land, the right holder can do and dig at will and own all obtained from the digging without precluding changes that should be made in connection with laws and regulations on mining, coal mining, garbage buried, etc. (Article 571 of the BW). Provisions concerning land rights in the Netherlands are different from those of the BAL. In the BAL, the right holder is entitled to use the land, its underneath, its water and the space on it which are necessarily only the direct benefits of using the land, within the limits specified in the BAL and higher regulations (Article 4 Paragraph 2 of the BAL).
This difference is understandable as there are differences in agrarian legal politics of both countries. Every state aims to create prosperity for its people, but in Indonesia to achieve the prosperity, the earth, water and natural resources contained therein are controlled by the state. This is in accordance with the constitutional basis for the national politics of agrarian law, namely, Article 33 Paragraph (3) of the 1945 Constitution. So the relationship between the state and land is the relationship of control. Even the General Elucidation of Point 2 of the BAL explicitly states that the BAL stems from the conviction that in order to achieve what is specified in Article 33 Paragraph (3) of the 1945 Constitution, it is unnecessary and not appropriate that Indonesia or the State acts as a landowner. It is more appropriate if the State, as the organization of power of all Indonesians, acts as the Ruler Agency. Thus, with this provision, there is land with rights on it and there is land belonging to the State.
This is quite different from the Netherlands. In the Netherlands, every property absolutely has an owner. As contained in Article 520 of the BW, yards and other immovable properties which are not well maintained and have no owner, such as the properties of those who died without an heir or who abandoned their inheritance, belong to the state.
After the enactment of the NBW, the situation is not much different. Consequently, all the land in the Netherlands now has an owner. In case that the land has no owner, then it belongs to the island authorities where the land is located. It is stipulated in Article 24 in conjunction with Article 26 Book 5 of the NBW. Article 24 Book 5 of the NBW states:“onroendere zaken die geen andere eigenaar hebben, behoren toe aan het eilandgebied waar zij zijn gelegen”.
Island areas encompass the coast, the land in the inland waters and small islands as well as the mainland within the area. Use of the areas should be approved by the authority of the island. (Article 26 Book 5 of the NBW)
From the provisions contained in both the old BW or after the enactment of the NBW, it is clear that respect for land rights in the Netherlands is very high. As respect is so high for the ownership right, expropriation process requires a very complicated procedure.
On the basis of the above provisions, land acquisition activities for development could be performed through conveyance (transfer of right), i.e. selling of land rights, or through an application for right to the owner of the land, who may grant erfpacht right (long lease).
Meanwhile, in order to meet the needs of land for development in the public interest while an agreement on compensation is not reached, expropriation is performed. From the description above, in the activities of obtaining land rights there are two concepts, namely acquisition and expropriation.


D. Conclusion
There are various concepts used Indonesia laws and regulations, namely the concepts of land provision (penyediaan tanah), indirect transfer of title (pembebasan tanah), land procurement (pengadaan tanah), land acquisition (perolehan tanah) and expropriation (pencabutan hak atas tanah). Among the various concepts, the most appropriate is the concept of "acquisition of land rights". It is based on the relationship between the state and land, which is the relationship of control. On the basis of this relationship, there is land with the status of state land and land with the status of right on it. The concept of legal acquisition of land rights can be applied to both state land and land of right. Towards the plots of land that have no rights on it, land acquisition can be carried out by way of right application. While towards a plot of land with title on it, transfer of right (conveyance) is the method. Land whose right has been disposed of becomes state land and acquisition can be done by application for right. The legal concept of land right acquisition is broader than the legal concept of land right procurement. Because the legal concept of land right acquisition is appropriate only if the desired land is state land rather than land of right.
Indonesian to English: Detection of Short Tandem Repeats at 5 Loci and Amelogenin with cell free fetal DNA as a specimen on Development of Paternity Prenatal Diagnosis Test
General field: Medical
Detailed field: Biology (-tech,-chem,micro-)
Source text - Indonesian
ABSTRAKS

Salah satu hal yang menjadi persoalan bagi seorang ahli molekuler forensik adalah terkait dengan kontroversi penggunaan sampel fetal cell free DNAdalam analisis DNA forensik, seperti pada kasus “unborn child disputed”. Padahal urgensi penggunaan sampel yang berbasis pada cell freefetalDNApada kasus forensik di masa mendatang akan menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan, mengingat kompleksitas kasus unborn child identification terkait dengan aborsi provokatus ataupun kasus kriminal lainnya yang diprediksi akan terus meningkat. Penelitian dengan menggunakan 13 lokus STR standar CODIS dengan menggunakan cell free fetal DNA, terkait dengan prenatal paternity diagnosis perlu untuk dilakukan.Hal ini mengingat hingga saat ini CODIS masih menjadi referensi atau acuan dalam pemeriksaan DNA paternitydi dunia forensik.Penelitian terhadap 10 sampel yang berasal dari darah maternal telah dilakukan, melalui pemeriksaan paternitas dengan menggunakan lokus vWA, TH01, D13S317, D18S51, D21S11 dan pemeriksaan gender dengan menggunakan gen amelogenin.Persentase cell free fetal DNA yang dibandingkan dengan DNA yang berasal dari ibu pada sampel penelitian memiliki rerata sebesar 16,6 % (berbeda significan; sig: .001). Pada penelitian ini dengan menggunakan beberapa lokus dari STR (Short Tandem Repeat) seperti halnya lokus vWA, TH01, D13S317, D18S51, D21S11 dan pemeriksaan gender dengan menggunakan gen amelogenin, yang memiliki panjang pasang DNA di bawah 400 bp, masih memungkinkan untuk dilakukan DNA fingerprinting dengan menggunakan spesimen circulating cell free fetal DNA. Hasil ini tidak berbeda signifikan jika dibandingkan dengan DNA maternal (sig 1.000 D13S317; sig 1.000 D21S11; sig.739 D18S51; sig 1.000 vWA; sig 1.000 TH01; dan sig 1.000 gen amelogenin untuk penentuan jenis kelamin). Hal ini ditunjukkan dengan tingkat keberhasilan yang relatif tinggi pada penelitian ini, yakni sekitar 100 % pada lokus vWA, TH01 D13S317, 90% untuk D18S51 dan D21S11, serta 100 % pada gen amelogenin, dengan persentase rerata keberhasilan sebesar 96.66%. Persentase keberhasilan ini relatif tinggi, dengan mengingat cell free fetal DNA, sebagaimana pendapat Rong et al (2012), diprediksi hanya akan “mampu” mendeteksi lokus DNA dengan panjang rata-rata 100 bp.Meski demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisis penggunaan cell free fetal DNApada pemeriksaan DNA di bidang forensik pada selain lokus yang digunakan dalam penelitian ini sebelumnya

Keyword :deteksi awal, circulating cell free fetal DNA, teknik non invasif, DNA paternity

Pendahuluan
Circulating Cell Free Fetal DNA diagnostic Method adalah suatu teknik diagnosis DNA prenatal non invasif, dengan menggunakan Circulating Cell Free Fetal DNA dalam darah ibu pada usia kehamilan 8minggu atau lebih(Guo et al, 2012). Teknik ini mulanya dikembangkan untuk menjawab “tantangan” terkait dengan metode diagnosis untuk kasus prenatal di bidang obstetri ginekologi, terutama yang berhubungan dengan kelainan genetik yang selama ini menjadi concern di bidang fetomaternal. Teknik ini relatif baru digunakan, di mana sampel untuk deteksi prenatal biasanya diperoleh melalui teknik sampling yang invasif, seperti halnyatranscervical atau transabdominal chorionic villus sampling atau amniosentesis. Teknik pengambilan sampel DNA janin sebagaimana tersebut di atas, berpeluang menimbulkan risiko tertentu, di mana resiko yang terburuk adalah risiko keguguran.
Sebagaimana penggunaan Circulating Cell Free Fetal DNA pada bidang obstetri ginekologi, urgensi penggunaan sampel yang berbasis pada Circulating Cell Free Fetal DNA pada kasus forensik di masa mendatang akan menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan, mengingat kompleksitas kasus unborn child identification terkait dengan aborsi provokatus ataupun kasus kriminal lainnya yang diprediksi akan terus meningkat. Adanya sisa fetal cell free yang berasal dari kehamilan sebelumnya, serta tantangan teknis yang berhubungan dengan jumlah DNA janin ini pada awal kehamilan biasanya kurang dari 10% dari total DNA yang beredar bebas (Barret et al, 2011; Loh et al, 1998), membuat penggunaan Circulating Cell Free Fetal DNA dikawatirkan dapat menjadi faktor penyulit dalam pengambilan kesimpulan yang tepat.Padahal pada kasus forensik terdapat implikasi hukum terkait dengan hasil analisis pemeriksaan yang dihasilkan (Anonim, 2012).
Bahan dan metode
Darah perifer diambil dari 10 wanita hamil pada trimester pertama, kedua dan ketiga sebagai relawan, yang sebelumnya telah diminta persetujuan untuk penelitian melalui informed consent yang telah ditandatangani oleh para relawan.
Plasma diperoleh dengan sentrifugasi sampel darah ibu pada 3000 rpm selama 10 menit dalam tabung eppendorf 2ml. Plasma diperoleh dengan hati-hati dipisahkan dengan buffy coat, dan resentrifugasi pada kecepatan 6000G selama 10 menit. Ekstraksi DNA dilakukan dengan metode organik menggunakan DNAzol (Invitrogen Tek-Line sm). Konsentrasi DNA dan kemurnian diukur pada sampel yang sebelumnya telah diambil oleh UV-spektrofotometer. Amplifikasi DNA dilakukan dengan PCR - STR (polymerase chain reaksi - Pendek Tandem Repeat) pada 5 lokus standar CODIS (Gabungan Sistem Indeks DNA) dari FBI (federal Bearou Investigation), yaitu D13S317, VWA, TH01, D18S51, D21S11 dan amelogenin gen untuk penentuan jenis kelamin (Promega Corp, 2001). Hasil yang diperoleh melalui PCR STR (Polymerase Chain Reaction - Short Tandem Repeat), kemudian dianalisis untuk menentukan pola "exclusi -inclusi" antara sampel dan perbandingan yang berfungsi sebagai "kontrol, sebelum analisis data produk PCR divisualisasikan. menggunakan Gel Poliacrylamide 6% gel (Promega Corporation, 2010). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode stastitical uji sampel independen atau uji t dan uji Mann-Whittney SPSS 17 dari Windows

Hasil dan Diskusi
Sebanyak 10 sampel penelitian yang berasal dari darah maternal telah dilakukan pemeriksaan paternitas dengan menggunakan lokus VWA, TH01, D13S317, D18S51, D21S11 dan pemeriksaan gender dengan menggunakan gen amelogenin. Sebelumnya DNA diekstraksi dari darah perifer 10 wanita hamil setelah dipisahkan sebelumnya circulating cell free fetal DNA dan DNA yang berasal dari maternal, kemudian diukur konsentrasi dan kemurniannya. Konsentrasi DNA dan hasilnya kemurnian DNA dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2

Tabel 1 Perbandingan Persentase DNA konsentrasi DNA yang berasal dari circulating cell free fetal DNA dan darah ibu

Keseluruhan tabel (tabel 3-tabel 8), menunjukkan bahwa PCR-STR (Short Tandem Repeat) pada lokus D13S317, D18S51, D21S11, VWA, TH01 berasal dari Circulating Cell Free Fetal DNA mewarisi "setengah" dari alel ibu setengah dari alel ayah. Ini berarti bahwa analisis teknis pemeriksaan STR dapat dilakukan pada Circulating Cell Free Fetal DNA.

DISKUSI
Analisis molekuler yang menggunakan plasma maternal selama masa kehamilan sebagai spesimen pemeriksaan, menjadi hal yang menarik untuk dieksplorasi lebih jauh. Temuan adanya Circulating Cell Free Fetal DNA pada sirkulasi maternal ini menjanjikan harapan baru bagi suatu pengembangan teknik non invasive untuk kepentingan diagnosis prenatal, yang selama ini masih mengalami kendala dalam penerapannya (LoYMD, 2000)
Penggunaan Circulating Cell Free Fetal DNA yang terdapat pada plasma maternal memungkinkan pemeriksaan forensik pada kasus paternitas dapat dilakukan (Rong et al, 2012; Sarasola et al, 2006). Hal ini didasarkan pada beberapa penelitian yang dilakukan dengan menggunakan Circulating Cell Free Fetal DNA pada sirkulasi maternal ini untuk penentuan gender janin, telah berhasil dengan baik (Sosiawan, 2014). Bahkan dalam suatu kondisi tertentu menurut Colmant et al (2013), deteksi dengan menggunakan Circulating Cell Free Fetal DNA mampu menentukan gender janin setelah 8 minggu kehamilan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase perbandingan antara Circulating Cell Free Fetal DNA dengan DNA maternal sebesar 16.66%. Prosentase ini menunjukkan bahwa fraksi kuantitas DNA yang berasal dari Circulating Cell Free Fetal DNA sebagaimana yang dikatakan oleh Brar et al (2012) adalah rendah atau low fraction. Meski demikian fraksi kuantitas DNA yang rendah tidak berarti bahwa DNA yang berasal dari Circulating Cell Free Fetal DNA tidak “memiliki”kemampuan untuk digunakan sebagai specimen pemeriksaa DNA dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Hal ini mengingat syarat specimen DNA dapat digunakan dalam DNA profiling di bidang forensik, memiliki jumlah atau kadar DNA sekitar 20 ng/μl(Notosoehardjo, 1999; Gatut et al, 2004), dengan rerata kemurnian DNAyang berasal dari darah maternal maupun Circulating Cell Free Fetal DNA :1,79, sehingga memungkinkan dilakukan amplifikasi PCR (Muladno, 2002). Mengenai tingkat kemurnian dari hasil penelitian yang mendekati 1,8 (untuk kedua sampel ditemukan rerata kemurnian sebesar 1,79), menunjukkan bahwa konsentrasi DNA dari hasil isolasi DNA, memiliki tingkat kemurnian yang relatif baik, meski masih di bawah kisaran 1.8-2.0. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat dugaan adanya kontaminasi protein pada hasil isolasi DNA sampel penelitian. Meski demikian pada sampel DNA forensik, tingkat kemurnian tersebut tidak menimbulkan persoalan yang berarti. Hal ini mengingat tingkat kemurnian masih di atas 1. Kemurnian DNA berkisar 1-2, pada sampel yang digunakan sebagai bahan pemeriksaan DNA forensik menurut Notosoehardjo (1999) masih memungkinkan digunakan untuk keperluan DNA typing, dengan teknik Polymerase Chain Reaction) (Muladno,2002).
Penggunaan PCR sebagai metode amplifikasi DNA pada penelitian ini, merupakan metode yang sangat sensitif digunakan sebagai teknik amplifikasi DNA, terutama pada DNA typing di bidang forensik, yang seringkali dijumpai pada jumlah yang relatif sedikit (Prinz et al, 2005; Khayap et al, 2004). Sehingga sedikitnya jumlah DNA target, pada kondisi tertentu tidak berpengaruh terhadap keberhasilan PCR dibidang forensik. Penelitian ini menggunakan beberapa lokus dari STR (Short Tandem Repeat) seperti halnya lokusvWA, TH01, D13S317,D18S51 dan D21S11, serta menggunakan gen amelogenin untuk pemeriksaan atau deteksi gender DNA forensik, yang memiliki panjang pasang DNA di bawah 400 bp. Hasil dari studi ini menunjukkan masih dimungkinkannya DNA fingerprinting dengan menggunakan spesimen Circulating Cell Free Fetal DNA. meski demikian masih ditemukan pada beberapa sampel cell free fetal DNA yang “gagal” memberikan hasil(masing-masing 1 sampel Circulating Cell Free Fetal DNA pada pemeriksaan lokus D18S51 dan D21S11). Rong et al(2012), menyatakan bahwa Circulating Cell Free Fetal DNA yang terdapat pada plasma maternal secara umum lebih pendek dibandingkan dengan DNA maternal. Hal inilah yang menyebabkan kegagalan dalam proses amplifikasi DNA dapat terjadi. Selain itu menurut pendapat Rong et al (2012), selain disebabkan panjang fetal DNA yang relatif pendek sebagaimana telah disebutkan di atas, timbulnya kegagalan dalam proses amplifikasi atau terjadinya ”false negatif” pada proses penggandaan DNA diduga disebabkan oleh kualitas Circulating Cell Free Fetal DNA yang berasal dari janin atau fetal origin pada plasma maternal Sehingga didapatkan sampel penelitian yang “gagal”teridentifikasi pada lokus D18S51 dan D21S11.
Penelitian ini memberikan hasil yang menjanjikan bagi penggunaan Circulating Cell Free Fetal DNA sebagai spesimen pemeriksaan paternitas pada lokus VWA, TH01, D13S317,D18S51,D21S11 dan pemeriksaan gender dengan menggunakan gen amelogenin dengan teknik non invasif. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat keberhasilan yang relatif tinggi pada penelitian ini, yakni sekitar 100 % pada lokus VWA, TH01, D13S317 serta gen amelogenin untuk penentuan gender, 90 % untuk lokus D18S51 dan lokus D21S11, dengan persentase rerata keberhasilan sebesar 95%. Persentase keberhasilan ini relatif tinggi, dengan mengingat Circulating Cell Free Fetal DNA, sebagaimana pendapat Rong et al (2012), diprediksi hanya akan “mampu” mendeteksi lokus DNA dengan panjang rata-rata 100 bp.
Sebagaimana diketahui lokus VWA, TH01, D13S317, D18S51, D21S11 dan pemeriksaan gender dengan menggunakan gen amelogenin sebagaimana telah disebut di atas memiliki panjang pasang basa yang relatif tinggi.Lokus D13S317 memiliki panjang 169–201bp, D18S51 memiliki panjang 290–366 bp,D21S11 memiliki panjang 203–259 bplokus VWA memiliki panjang 127–167 bp, TH01 memiliki panjang 179–203 bp dan gen amelogenin memiliki panjang 106, 112 bpPromega, (2012)), yang secara teoritis sulit untuk digunakan sebagai lokus pemeriksaan paternitas dengan menggunakan cell free fetal DNA sebagai bahan pemeriksaannya, meski fetal cfDNA sudah dilaporkan penemuannya sejak satu dekade yang lalu. Hal ini menurut Ryan et al (2013)disebabkan karena jumlah cffDNA pada plasma maternal yang kurang dari 20% serta kondisi ccffDNA highly fragmented, yang memiliki panjang fragmen DNA
Translation - English
ABSTRACT

One of the crucial problems in molecular forensics is the use of circulating cell free fetal DNA as a specimen of "unborn child disputed" in a prenatal DNA paternity analysis. This is due to the small number of research related to the use of cell free fetal DNA as a material test, whereas a case like this will continue to increase along with the growing complexity of human life. This is the reason why research using 13 STR loci of CODIS standard with cell free fetal DNA as a material specimen associated with paternity prenatal diagnosis needs to be conducted. This is due to the fact that CODIS is still the reference in testing the DNA paternity in forensics world. Research on 10 samples from maternal blood has been conducted through the Short Tandem Repeat (STR) tests using the loci of vWA, TH01, D13S317, D18S51, and D21S11 and gender examination using amelogenin genes. The results showed that the concentration of circulating cell free fetal DNA, compared with DNA obtained from mother, was significantly different (sig: .001), with a mean of 16.66%. This research used several loci of Short Tandem Repeat such as vWA, TH01, D13S317, D18S51, and D21S11, as well as gender examination using amelogenin genes with length shorter than 400 bp which enables DNA fingerprinting with a speciemen of circulating cell free fetal DNA. This result was not significantly different from maternal DNA (sig 1.000 D13S317; sig 1.000 D21S11; sig.739 D18S51; sig 1.000 vWA; sig 1.000 TH01; and sig 1.000 amelogenin genes to determine gender). This is shown by the relatively high success rate of this research: approximately 100% for loci of vWA, TH01, D13S317, 90% for D18251 and D21S11, as well as 100% for amolegenine genes, with average success rate of 96.66%. This percentage is relatively high considering that cell free fetal DNA, according to Rong and colleagues (2012), will only be able to detect DNA loci with average length of 100 bp. Nevertheless, further research is needed to analyse the use of cell free fetal DNA in the forensics field other than previous research foci.

Keywords: early detection, circulating free fetal DNA, non-invasive technique, DNA paternity

Introduction
Circulating cell free fetal DNA diagnostic method is a non-invasive DNA diagnostic technique which uses circulating cell free fetal DNA in maternal blood in 8 week pregnancy or older (Guo et. al., 2012). This technique was originally developed to answer the "challenge" of diagnostic methods for prenatal cases of gynecology obstetrics, mainly those related with genetic disorders which had been a concern in fetomaternal field. This technique is relatively new, with which a sample for prenatal detection is obtained through invasive techniques such as transcervical or transabdominal chorionic villus sampling or amniosentesis. These techniques, however, are risky with miscarriage as the worst risk.
As with the use of fetal cell free DNA in obstetrics gynecology, the urgency of the use of the sample based on circulating cell free fetal DNA in forensic cases in the future will be an inevitable need, given the complexity of unborn child identification associated with provocatus abortion or other crime cases which are predicted to continue to increase. The presence of residual fetal cell free derived from previous pregnancy as well as the technical challenges associated with the amount of fetal DNA in early pregnancy which is usually less than 10 % of the total DNA circulating freely (Barrett et. al., 2011; Loh, et. al., 1998) have caused fear that the use of circulating cell free fetal DNA could complicate decision making to produce appropriate conclusions. Whereas, in forensic cases, there are legal implications associated with the results of the examination (Anonymous, 2012).

Materials and Methods
Peripheral blood was collected from 10 pregnant women in the first, second and third trimesters. These volunteers signed an informed consent document allowing the use of their blood as research material.
Plasma was obtained by centrifugation of maternal blood samples at 3000rpm for 10 minutes in 2ml tubes Eppendorf. Plasma obtained was carefully separated with a buffy coat, and then re-centrifugated at 6000g for 10 minutes. DNA extraction was performed with the organic method using DNAzol (Invitrogen Tech-Line sm). DNA concentration and purity were measured on a sample that had previously been extracted with UV-spectrophotometer. DNA amplification was performed with PCR-STR (Polymerase Chain Reactions-Short Tandem Repeat) at 5 loci of CODIS (Combined DNA Index System) standard of the FBI (Federal Bureau of Investigation), namely D13S317,vWA, TH01, D18S51,D21S11 and gene amelogenin for gender determination (Promega Corp, 2001). The results obtained through PCR-STR (Polymerase Chain Reactions-Short Tandem Repeat) were then analysed to determine the pattern of "exclusion-inclusion" between the sample and the comparison group serving as a control before the results of PCR data analysis were visualized using Gel Poliacrylamide 6% gel (Promega Corporation, 2010). Data obtained were analysed using the statistical method of independent samples t-test and Mann-Whitney test on SPSS 17 for Windows.

Results and Discussion
Ten samples of maternal blood were examined using paternal tests using loci of VWA, TH01, D13S317, D18S51, D21S11 and gender examination using amelogenin genes. Prior to that, DNA was extracted from ten pregnant women’s peripheral blood, and circulating cell free fetal DNA and maternal DNA were separated and measured for their concentration and purity. The DNA concentration and purity can be viewed in Tables 1 and 2.

Table 1. Comparison of DNA percentage: DNA concentration derived from circulating cell free fetal DNA and maternal blood

No.
Trimester of pregnancy Blood
(ng/ul) Fetal Free
(ng/ul) Percentage
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. III
III
III
I
III
III
I
III
II
III 4796.1.
1777.95.
1148.27.
8927.8.
2063.5.
4816.3.
2963.1.
2158.1.
2076.8.
4896.6. 298.11.
245.01.
486.8.
188.89.
897.3.
475.9.
56.2.
338.9.
366.8.
664.9. 6.21.
13.78.
42.39.
2.11.
43.48.
9.88.
1.89.
15.70.
17.66.
13.57.
Average 3562.45. 401.88. 16.66.
Independent sample test, Sig.(2-tailed): .002 P
Indonesian to English: Salafi Masjid Ridwan
General field: Other
Detailed field: Religion
Source text - Indonesian
Contemporary Period

Salafi Masjid Ridwan
Hingga saat ini, mayoritas kegiatan dan kajian Keislaman kelompok Salafi di Kabupaten Pamekasan terpusat di Masjid Ridwan. Namun demikian, ada juga masjid-masjid lain yang ditempati kajian-kajian Salafi, namun intensitasnya lebih sedikit dibanding Masjid Ridwan.
Secara geografis, mesjid Ridwan terletak di jalan raya Diponegoro. Sebuah jalan protokol di kota Pamekasan. Sangat strategis. Terletak di pusat kota dan berada di kawasan perbelanjaan masyarakat Pamekasan yang dikenal dengan sebutan Pasar Sore. Kawasan ini ramai dengan dengan aktivitas warga. Masyarakat Pamekasan juga menyebut kawasan ini dengan kampung Arab. Mungkin karena mayoritas penduduknya adalah keturunan Arab.
Masjid ini mempunyai dua halaman, di depan dan belakang, masing-masing berfungsi sebagai tempat parkir motor. Di bagian belakang terdapat gedung yang berfungsi sebagai kantor, dan juga di sampingnya terdapat ruangan kecil yang difungsikan sebagai studio Radio Ihya’ Sunnah. Sebuah Radio yang secara khusus menyiarkan kajian-kajian Keislaman bermanhaj Salaf, baik yang bersumber dari ceramah-ceramah Masjid Ridwan sendiri, atau pun hasil relay dari radio Salafi lainnya.
Masjid Ridwan sangat asri, meski ukurannya tidak terlalu besar. Mempunyai fasilitas yang lengkap dan canggih dibanding masjid-masjid lain yang ada di Pamekasan. Masjid lain nampak biasa saja. Terkadang saya menemui masjid yang nampak kurang terurus, terlihat dari lantai yang kotor dan karpet yang kusam. Lain halnya dengan Masjid Ridwan, yang dilengkapi dengan AC pada setiap dindingnya. Mimbarnya besar dan elegan, karpetnya tebal dan sangat terawat. Di berbagai sisi dinding terdapat rak Al-Qur’an. Di pojok kanan belakang terdapat buku-buku yang tersusun rapi dalam rak berkaca. Di pojok kiri belakang terdapat ruangan yang berisi meja-meja kecil yang digunakan untuk anak-anak belajar mengaji.
Warga Pamekasan mengenal Masjid Ridwan sebagai Masjid milik Muhammadiyah. Karena masjid ini sejak awal mula pendiriannya diprakarsai dan dikelola oleh warga Muhammadiyah. Namun tidak berarti Masjid Ridwan adalah milik Muhammadiyah, semua umat Islam di luar Muhammadiyah diperbolehkan atau memiliki hak yang sama dalam beribadah di Masjid ini.
Sejak tahun 2000 masjid ini mengadakan kajian-kajian Salafi yang diprakarsai oleh beberapa jamaah Al-Irsyad. Seiring berjalannya waktu, pengurus takmir masjid Ridwan banyak dihuni oleh orang-orang bermanhaj salaf, sehingga lambat laun pengelolaan Masjid Ridwan beralih kepada kelompok Salafi. Perubahan pengelolaan dari Muhammadiyah ke manhaj salafi tidak menimbulkan masalah karena baik Muhamamdiyah maupun Salafi, secara umum memiliki misi yang amat mirip, yaitu pemurnian ajaran Islam.
Pada suatu kesempatan, saya menemui Pak Daeng, ketua Muhammadiyah Pamekasan untuk mencari informasi mengenai masjid-masjid milik muhammadiyah di Pamekasan. Beliau mengatakan bahwa ada dua kategori masjid yang berafiliasi ke organisasi Muhammadiyah.
Pertama adalah masjid yang secara legalitas formal adalah hak milik penuh Muhammadiyah. Dalam artian, kepemilikan dan pengelolaan adalah hak preogratif Muhammadiyah. Masjid ini tidak pernah dan tidak boleh diambil alih pengelolaannya oleh siapapun, baik individu, kelompok atau ormas lainnya. Contohnya adalah masjid At-Taqwa yang terletak di Jalan Mandiralar dan masjid Al-Falah yang terletak di jalan Dirgahayu.
Kedua adalah masjid yang dikelola oleh Muhammadiyah, tetapi secara legalitas formal kepemilikannya bukan milik Muhammadiyah.
Bapak Daeng mengakui, termasuk kategori kedua ini, ada beberapa masjid yang yang diambil alih pengelolaannya oleh organisasi atau kelompok lain. Menurut Pak Daeng, “Akuisisi itu dimulai dari penguasaan takmirnya terlebih dahulu. Para takmir ini dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan tujuan kelompok tertentu, dan pada akhirnya tidak mengikuti instruksi Muhammadiyah sebagai pemilik hak pengelola. Contoh masjid yang seperti ini di Pamekasan adalah Masjid Ridwan di Jalan Diponegoro.
Seiring perjalanan waktu, takmir masjid tersebut mulai tidak sejalan dengan pihak Muhammadiyah. Membuat kebijakan yang tidak selaras atau berseberangan sama sekali dengan Muhammadiyah. Kegiatan-kegiatan keagamaan mulai berjalan sendiri. Contohnya dalam hal mengundang muballigh, dilakukan sendiri tanpa koordinasi dengan pihak pengurus Muhammadiyah.
Setelah sekian lama, akhirnya Muhammadiyah memutuskan untuk “melepas” masjid tersebut. Keputusan ini lebih baik bagi Muhammadiyah. Sebab organisasi ini tidak harus memikul tanggung jawab jika terjadi gesekan di masjid tersebut, karena faktanya takmir masjid sudah tidak mengindahkan arahan dan instruksi dari Muhammadiyah. Melepas pengelolaan, yang kemudian bermakna melepas tanggung jawab, dianggap sebagai keputusan yang lebih baik.
Di Indonesia, peralihan atau pengambilalihan manajemen masjid dari satu organisasi atau kelompok oleh komunitas atau kelompok lain bukanlah sesuatu yang baru. Kasus yang hampir mirip atau bahkan serupa banyak terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Ada yang prosesnya terjadi secara damai, namun tidak jarang ada yang yang melibatkan konfrontasi fisik antar anggota masyarakat yang berlawanan. (Lihat, A. Wahid, 2009). Bahkan, hingga terjadi pembongkaran masjid yang disengketakan (lihat, Nuh, 2009). Salah satu contohnya perebutan Masjid Hidayatullah antara komunitas Salafi dengan anggota Nahdaltul Ulama di Pasuruan. Masjid itu awalnya dibangun oleh warga NU bersama Kementerian Agama. Beberapa waktu kemudian, komunitas salafi mulai menguasai dinamika masjid tersebut, yang lalu melemahkan peranan warga NU beraktivitas di masjid tersebut. Puncaknya adalah ketika warga NU dilarang oleh komunitas Salafi untuk melakukan shalat tarawih di Masjid tersebut. Konflik pun semakin memanas.
Bapak Daeng kemudian menambahkan analisanya. Peralihan status pengelolaan masjid, dari Muhammadiyah kepada kelompok lain sangat mungkin sekali terjadi. Hal ini karena Mesjid Muhammadiyah sangat terbuka bagi siapapun. Apapun haluan dan orientasi kelompok atau golongannya.
Perubahan pengelolaan Masjid Ridwan dari Muhammadiyah ke kelompok Salafi memudahkan para aktivis salafi untuk mengembangkan dan menyebarkan paham-paham Salafi. Mereka menemukan pijakan. Lalu mereka menentukan kriteria dan kebijakan penentuan nama khatib/imam ataupun pengisi pengajian rutin yang diselenggarakan oleh pihak takmir masjid. Jika tidak bermanhaj salaf maka tidak akan diterima. Ada beberapa khatib yang awalnya sering mengisi di Masjid Ridwan kini tidak lagi mengisi khutbah di Masjid Ridwan karena dianggap tidak sepaham atau tidak bermanhaj Salafi.
Pada kesempatan berbeda, saya bertemu dengan satu tokoh yang dulunya rutin menjadi khatib Masjid Ridwan. Kita sebut tokoh itu dengan inisial bapak A. Beliau menceritakan, “Sejak Masjid Ridwan tidak lagi dikelola oleh Muhammadiyah dan memproklamirkan diri sebagai masjid Salafi, banyak ustadz, termasuk saya, yang biasa mengisi pengajian ataupun menjadi khatib, tidak lagi mendapatkan jadwal atau tidak dipakai lagi. Mereka hanya mengundang ustadz-ustadz yang mempunyai pemahaman Salafi. Bahkan dalam shalat berjamaah, para ustadz yang tidak bermanhaj salaf, tidak diberi kesempatan menjadi Imam lagi.”
Secara eksplisit, fakta ini diakui dan dikuatkan oleh Ust. Cipto, salah seorang ustadz dan pengisi kajian di Masjid Ridwan. Beliau berkata, “Penceramah, Khatib dan Imam di Masjid Ridwan harus diketahui sosoknya terlebih dahulu. Misalnya, si Fulan ini bagaimana orangnya, siapa dia, dan manhajnya apa? Kalau tidak jelas, maka tidak bisa menjadi penceramah, khatib, atau imam di masjid Ridwan. Kita tidak boleh sembarangan memilih penceramah. Apa sebabnya? Kita telah berusaha dan susah payah membangun, mengembangkan dan menjaga manhaj Salaf di masjid ini (Ridwan). Kita tidak mau gara-gara penceramah yang tidak sepaham, tatanan dan manhaj salaf yang sudah eksis menjadi kacau. Kita bukan tidak senang dengan mereka yang memiliki pemikiran berbeda. Pemikiran dan pemahaman boleh berbeda, tapi jangan sampai mereka mengisi di masjid kami. Intinya, kita berusaha bagaimana manhaj salaf eksis di Masjid Ridwan.”
Terlihat sekali bahwa kelompok Salafi sangat tegas dan tidak main-main dalam mendakwahkan manhaj salaf. Mereka tidak mau memberikan celah, sekecil apapun, yang memungkinkan rusaknya tatanan dan kajian manhaj salaf, karena faktor adanya khatib dan pengisi kajian yang berbeda manhajnya. Mereka membangun dengan perjuangan berat, sehingga mereka juga akan menjaga dan mempertahankan dengan sangat baik. Pepatah mengatakan, “Mempertahankan lebih berat dari pada meraih.”
Seperti halnya komunitas salafi di berbagai daerah di Indonesia, yang mengorganisir kegiatannya dengan mendirikan Yayasan, maka komunitas Salafi yang terpusat di Masjid Ridwan juga melakukan hal yang sama. Mereka bahkan mendirikan dua Yayasan sekaligus.
Pola pendirian yayasan oleh berbagai kelompok Indonesia bukanlah tanpa sebab. Ada beberapa alasan legal yang mendasari kelompok-kelompok tersebut, yaitu sebagai berikut,
1. Karena dengan badan hukum Yayasan kelompok-kelompok tersebut bisa mendapatkan izin dari Negara untuk menjalankan program sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
2. Yayasan adalah badan hukum Nirlaba, dengan program pemberdayaan orang dan penguatan masyarakat sipil, dank arena itu dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Hal mana yang membuatnya tidak harus menjalani wajib audit resmi oleh Negara.
Dalam praktiknya, biasanya ada motif politik di balik pendirian yayasan, contohnya mempertahankan dominasi politik dinasti. Dan juga penyebaran ideologi tertentu, seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Salafi dalam menyebarkan ajaran dan menjalankan aktivitas mereka di Indonesia.
Menurut Jajang Jahroni, mereka menggunakan strategi ini menghindari dari kontrol negara atau pengawasan public, terutama yang menyangkut dana operasional dan asset-aset yang dimiliki. Selain itu, dengan adanya yayasan, kelompok Salafi bisa menjalin kerjasama dan mendapatkan kepercayaan dari para donatur. Selain dari dalam negeri, donasi banyak datang dari para dermawan yang berasal negara-negara Timur Tengah yang sangat konsen pada penyebaran ideology Salafi, seperti Jam’iyyah Turath Al Islami Al Kuwaiti. Kerjasama dengan berbagai macam organisasi kegamaan lain juga akan lebih mudah di bawah naungan badan hukum yayasan. Bahkan dengannya, kelompok salafi Indonesia bisa ikut andil dalam program-program pemerintahan pusat maupun lokal.
Hal-hal di atas menjadi wawasan dan kesadaran kelompok salafi Pamekasan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, mereka bahkan mendirikan dua yayasan sekaligus.
Pertama, mereka mendirikan Yayasan Masjid Ridwan, yang fokus pada pengembangan keagamaan, seperti menfasilitasi belajar mengaji, termasuk tahsin dan tahfidz. Yayasan saat ini diketuai oleh Amin Hosni Bauzir, salah satu pemilik toko kain HB Batik di Pamekasan. Yayasan ini mempunyai struktur Ketua, Sekretraris, Bendahara, Dewan Pembina dan Dewan Penasehat.
Yayasan ini bekerjasama dengan Dewan Kemakmuran masjid dalam menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan di Masjid Ridwan. Beberapa kegiatan yang ada di Masjid Ridwan adalah kajian malam jumat yang mengkaji buku Fawaidul Fawaid yang diampu oleh ust. Cipto. Kajian malam Ahad dengan tema/buku yang berbeda-beda tiap minggunya, Minggu pertama buku Ust Umar Bamajbur yang mengkaji buku Tazkiyah Nufus, Malam Minggu kedua oleh Ust. Mufi Hanif Thalib buku Asy’aratus Syaah, dan Malam minggu keempat mengkaji buku Tahdzib Akidah Islamiyah yang diampu oleh Ust. Aunur Rafik. Malam Selasa khusus kajian Muslimah dengan tema yang berbeda-beda tergantung narasumbernya. Adapun untuk remaja dikhususkan pada hari Ahad sore yang diampu oleh Ust Umar Bamajbur. Selain itu, setiap sore juga ada kelompok mengaji, tafhid dan tahsin bacaan Al-Qur’an untuk anak-anak usia sekolah. Yayasan Masjid Ridwan juga mengelola Radio Ihya’us Sunnah yang merelay ceramah-ceramah dari masjid Ridwan dan acara-acara yang ada di Radio salafi nasional, yaitu radio Rodja.
Kedua, mereka mendirikan yayasan Cahaya Umat yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Yayasan ini sangat dikenal oleh masyarakat Pamekasan karena hampir setiap daerah di pamekasan telah disentuh oleh bantuan sosial organisasi ini. Ketuanya adalah Sonny Ansori. Adapun struktur organisasinya meliputi, pembina, pengurus dan pengawas. Yayasan ini memiliki Visi: Menjadikan Cahaya Ummat Pamekasan Sebagai One Stop Service For Humanity. Dan Misi: Mengumpulkan dana masyarakat atau umat baik dalam bentuk zakat, infaq, sodaqah, atau lainnya, dan menyalurkannya dengan amanah dan efisien kepada anggota masyarakat yang memerlukan, khususnya masyarakat yang kurang mampu.
Yayasan kedua ini juga memiliki beberapa program utama, yaitu sebagai berikut,
1. Ambulan untuk ummat: program ini adalah layanan peminjaman mobil ambulan gratis bagi masyarakat yang tidak mampu tanpa terkecuali.
2. Pembagian Sembako gratis bagi masyarakat miskin, termasuk juga para imam-imam masjid yang kurang mampu secara finansial.
3. Sedekah Air Madura, program ini fokus pada pembagian air ke daearah-daerah yang mengalami kekeringan akibat kemarau Panjang. Selain mensuplai air melalui tangki-tangki air ke warga, program ini juga membantu dan memfasilitasi pengeboran air di berbagai wilayah.
4. Program TIRZAH (Tim Perawatan Jenazah). Pada intinya, anggota tim ini bertugas mengurus jenazah, mulai dari mempersiapkan peralatan mandi, kemudian memandikan, mengkafani hingga menyiapkan ambulan dan penguburannya.
5. Peminjaman Alat Kesehatan Gratis bagi orang yang sakit yang rawat jalan (dirawat di rumah), seperti tabung oksigen, nebulizer, tongkat, kursi roda, kasur air, ranjang rumah sakit dan lain-lain.
6. RUHAFA (Rumah Sehat Dhuafa),
7. Khitanan Massal Gratis
Program-progam tersebut sangat membantu masyarakat kelas menengah bawah, terutama masyarakat yang ada di daerah utara Pamekasan. Program-program ini merupakan wujud aktivitas sosial kelompok Salafi dalam memecahkan problem dasar masyarakat dan bentuk nyata dukungan program-program pemerintah.
Terkait Yayasan Cahaya Ummat, masyarakat hanya sekedar mengenalnya sebagai yayasan sosial belaka. Tidak lebih. Tidak ada yang special dari kegiatan sosial yang dilakukan oleh yayasan ini di mata masyarakat Madura, selain hanya manfaatnya yang sangat membantu kehidupan mereka.
Para relawan yayasan ini juga tidak berdakwah secara langsung kepada masyarakat tentang manhaj salafi. Pola ini memang hampir seragam, dengan yang dilakukan oleh yayasan sosial salafi lainnya di wilayah Indonesia. Sebuah pola yang dipilih untuk meraih simpati dan menghindari gesekan yang mungkin terjadi.
Bergerak dalam kegiatan bantuan sosial, tanpa harus membawa atribut manhaj salafi juga adalah pengejawatahan dari metode dakwah Nabi Muhammad saw. Pada fase awal dakwahnya, yaitu dengan memberikan keteladanan dan kebaikan dalam kehidupan sosial mayarakat. Demikian pemikiran kelompok salafi itu.
Ketidaktahuan masyarakat Madura tentang pergerakan kelompok salafi ini juga mungkin karena minimnya wawasan mereka tentang disparitas aliran-aliran atau kelompok-kelompok dalam Islam. Faktor pendidikan yang melatarbelakangi hal tersebut.
Bagi masyarakat Madura yang umumnya tradisional, mereka hanya menjalankan kehidupan beragama yang sudah diwariskan secara turun temurun. Jarang sekali mereka bertemu dengan kelompok Islam yang berbeda. Dua hal yang membuat mereka tidak curiga dengan gerakan-gerakan keislaman yang ada, selama itu tidak mengganggu sendi-sendi berkehidupan mereka.
Oleh karena itu, kegiatan yayasan Cahaya Umat nyaris tidak menemukan hambatan atau kendala yang berarti. Tidak ada resistensi atau gesekan dengan masyarakat. Bahkan sebaliknya, yayasan ini mendapatkan sambutan yang cukup baik karena bantua-bantuan sosial yang diberikannya.

Salafi Non-Masjid Ridwan
Kelompok salafi di Kabupaten Pamekasan tidak hanya kelompok Salafi Masjid Ridwan saja. Selain yang terpusat kegiatannya di Masjid Ridwan, ada juga jamaah Salafi yang melaksanakan kegiatannya di masjid-masjid lainnya di Pamekasan.
Mereka adalah sebagian jamaah aktif di Masjid Ridwan, namun karena ada perbedaan pemahaman, mereka tidak lagi aktif dan menjadikan masjid lain sebagai pusat kegiatan. Salah satu contoh bentuk perbedaan pemahaman tersebut adalah pada bagaimana bersikap terhadap pemerintah dan kebijakan-kebijakannya.
Perbedaan tersebut tidak terlihat nyata. Tidak menciptakan batas-batas yang merenggangkan hubungan antara kedua kelompok tersebut. Secara umum, komunitas Salafi di Masjid Ridwan berpendapat bahwa taat kepada pemerintah merupakan suatu hal yang mutlak. Pernyataan Ust. Ghufron berikut ini menyimpulkan hal tersebut.
Beliau mengatakan, ”Senang atau tidak, setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya. Selagi dia tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat.”
Beliau lalu menambahkan, “Menentang pemimpin bisa membuat umat Islam jatuh ke jurang bencana. Beliau mencontohkan banyak negara yang mengalami kekacauan karena hubungan rakyat dan rakyatnya tidak harmonis. Salah satu contoh nyata negara-negara di Timur Tengah yang hancur lebur karena pecahnya perang saudara yang tak kunjung berakhir.”
Pernyaatan di atas dikuatkan oleh Ust. Cipto yang menyatakan bahwa, ”Hendaknya seorang muslim untuk taat dan patuh kepada pemerintah. Kalaupun ingin menasehatinya, hendaklah dengan cara yang lembut, sopan, baik, bukan malah sebaliknya, menghujat di depan umum, dan di media-media.”
Di pihak lain, komunitas Salafi non-Ridwan menyatakan bahwa tidak semua kebijakan pemerintah harus di ikuti. Jika pemerintah dan kebijakanya bertentangan dengan Allah dan Rasulnya, maka harus ditolak dan tidak boleh ditaati. Bagi mereka, taat kepada pemerintah bukanlah hal yang mutlak. Taat kepada pemerintah tergantung pada kebijakan yang dibuat.
Pernyataan salah satu jamaah Salafi yang saya temui, yang tidak sejalan dengan pemahaman komunitas Masjid Ridwan, secara gamblang menyatakan penolakan atau perbedaan pendapat. Beliau menjuluki dirinya sebagai seorang Salafi Minus. Beliau mengatakan, ”Saya ini Salaf minus. Maksudnya minus ketaatan saya terhadap amirul mukminin. Karena amirul mukminin itu hanya wajib ditaati kalau dia taat kepada Rasul dan taat kepada Allah.” Kelompok Salafi non-Masjid Ridwan ini hanya memisahkan diri saja, tidak melakukan tindakan frontal.
Mereka menentang pemerintahan yang membuat kebijakan tidak pro terhadap Umat Islam. Jika ada kebijakan pemerintah yang menyinggung kepentingan umat Islam, mereka akan mengolok-ngolok ataupun menyindir kelompok lainnya dengan sarkastis, "la kan-kakan pamarentanah ba’nah jiyah, toro’eh maskeh tak teppak. la la’kala’ ba’nah dhibik. Engkok tak ngampongah" (makan tuh pemerintahmu. Ikuti pemerintah itu walau kebijakannya tidak benar. Ambil semua, saya tidak mau ikutan).
Contoh kasus adalah tentang asuransi kesehatan masyarakat yang dikenal dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Bagi kelompok ini, kebijakan tersebut tidak sesuai hukum Syariah Islam karena diduga kuat mengandung gharar (penipuan) atau ketidakjelasan akad, yang memicu potensi maysir (judi/spekulasi), dan melahirkan riba.
Selain perbedaan pemahaman bagaimana bersikap terhadap pemerintah, perbedaan lainnya adalah bagaimana menyikapi terhadap ustad yang dianggap bukan ustad Salafi.
Salah satu jamaah yang pernah saya temui adalah Alim. Dia adalah mantan karyawan Yayasan Cahaya Umat yang tidak aktif lagi di Masjid Ridwan. Alim menyatakan ketidaksetujuannya terhadap sikap komunitas Salafi Masjid Ridwan yang pilah-pilih ustadz. Alim menilai komunitas Salafi Masjid ridwan kurang bijak ketika mereka tidak mau mengakui atau mendengarkan ceramah-ceramah dari ustadz yang bukan dari golongan mereka.
Alim mencontohkan. Pernah ia membagikan ceramah Ustadz Adi Hidayat, salah satu penceramah dari Muhammadiyah yang sangat terkenal di Indonesia saat ini, ke grup WA karyawan cahaya Umat. Dia akhirnya mendapat teguran agar tidak sembarangan berbagi ceramah ustadz di luar ustadz Salafi. Alim bersikeras tindakannya membagikan ceramah Ustadz Adi Hidayat bukan kesalahan. Dan ceramah sang ustadz juga sesuai Al-Qur’an dan Hadits.
Namun pandangan Alim tersebut berbeda dengan komunitas Salafi lainnya. Menurut kelompok ini, ceramah-ceramah ustadz Adi Hidayat harus dihindari, bahkan tidak boleh didengarkan, karena manhaj dan pemahaman keagamaan beliau adalah salah dan tidak sejalan dengan manhaj ahlussunnah, khususnya dalam masalah aqidah.
Terlebih lagi, terkait Ustadz Adi Hidayat, ustadz-ustadz Salafi ternama Indonesia, seperti Ustadz Abdullah Taslim, Ustadz Firanda Andirja, Ustadz Zainal Abidin, Ustadz Abul Jauzaa telah (mentahdzir) memperingatkan bahayanya pemahaman dan manhaj ustadz Adi Hidayat. Para ustadz di atas telah menghimbau umat Islam Indonesia agar tidak meniru, mengikuti, duduk bersama dan menuntut ilmu dari ustadz Adi Hidayat. Sebab beliau dianggap telah terjerumus dalam kesalahan.
Akhirnya, akibat perbedaan pendapat diatas, Alim pun dikeluarkan dari grup WA dan juga dipecat dari posisinya sebagai karyawan Cahaya Ummat.
Perlu ditekankan lagi disini, adanya dua komunitas Salafi di Pamekasan lebih karena adanya perbedaan dalam beberapa pemahaman saja. Keberadaan kedua kelompok ini tidak sampai menimbulkan intrik ataupun riak-riak perselisihan. Masing-masing mempunyai tempat dan kegiatan sendiri, bahkan tak jarang pula mereka saling bertukar ustadz untuk saling mengisi di tempa kajian mereka.

Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, kajian-kajian Salafi di Pamekasan sudah dimulai sejak tahun 1998 di Masjid Al-Falah, walau masih dalam bentuk halaqah-halaqah yang dihadiri oleh sedikit peserta yang dibimbing oleh ustad Dari Maroko (Ust. Barojak).
Perkembangan Kajian Salafi di Pamekasan mulai pesat sejak tahun 2000 ketika masjid Ridwan sudah mulai mengadakan kajian-kajian Salafi yang diprakarsai oleh komunitas Al-Irsyad. Kajian-kajian salafi semakin pesat Ketika pengelolaan masjid Ridwan diambil alih oleh kelompok Salafi, yang kemudian berhasil mendirikan dua yayasan sekaligus, pertama Yayasan Masjid Ridwan yang fokus pada kegiatan keagamaan dan yang kedua Yayasan Cahaya Ummat yang fokus pada kegiatan sosial kemasyarakatan.
Sebagai catatan penting, komunitas Salafi yang ada di Pamekasan tidaklah tunggal. Di Pamekasan, tidak hanya ada Kelompok Salafi Masjid Ridwan saja, namun ada kelompok lain selain komunitas masjid Ridwan. Mereka adalah pecahan dari kelompok Salafi Masjid Ridwan yang memilih memisahkan diri karena perbedaan sikap terhadap kebijakan pemerinntah dan juga dalam hal bagaimana bersikap terhadap ustad-ustadz lain yang non Salafi, yang ceramah dan kajiannya tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadits.
Translation - English
Contemporary Period

Ridwan Mosque Salafis
To date, Salafi group’s activities and Islamic discourses in Pamekasan Regency are mostly centered at Ridwan Mosque. Although other mosques are also used for Salafi discourses, the intensity of Salafi discussions there is lower than in Ridwan Mosque.
Geographically, Ridwan Mosque is situated on Diponegoro Street, a very strategic avenue in Pamekasan city. Located in the city center, in the shopping area known by Pamekasanese as “Afternoon Market”, this area bustles with local residents’ activities. Pamekasan people also call this area the Arab neighborhood, referring to the fact that its most inhabitants are of Arab descent.
This mosque has two courtyards, front and back, each functioning as a parking lot for motorbikes. In the back there is a building used as an office, with an adjacent small room functioned as a studio of Radio Ihya’ Sunnah. This radio specifically broadcasts Islamic discourses with the Salafi manhaj (methodology), both from Ridwan Mosque's own speeches and relays of other Salafi radios.
Despite its small size, Ridwan Mosque is harmoniously chic. It has complete and sophisticated facilities, making other mosques in Pamekasan look ordinary. Sometimes I see mosques that are maintained poorly, with their floors dirty and their carpets worn out. But Ridwan Mosque is maintained meticulously, even equipped with air conditioning on each wall. The pulpit is large and elegant, the carpets are thick and very well-maintained. On all sides of the walls are Al-Qur'an shelves. In the back right corner are books neatly arranged on glass shelves. In the back left corner there is a room containing small tables for children to learn Islamic teachings.
Pamekasan residents recognized Ridwan Mosque as a mosque belonging to Muhammadiyah, because this mosque, since its inception, was founded and managed by Muhammadiyah members. However, it did not mean that the Ridwan Mosque belonged to Muhammadiyah exclusively, as all Muslims outside of Muhammadiyah were allowed to use it, and they had the same rights of worshipping God at this mosque.
Beginning in 2000, this mosque conducted Salafi discussions initiated by some members of Al-Irsyad group. Over time, the committee board of Ridwan Mosque was occupied by many Salafis who gradually took over the management entirely. The shift in management from Muhammadiyah to Salafis did not cause problems because both Muhamamdiyah and Salafi, in general, share a similar mission of purifying Islamic teachings.
On one occasion, I met Mr Daeng, the chairman of Muhammadiyah Pamekasan, to seek information about the mosques belonging to Muhammadiyah in Pamekasan. He said there are two categories of mosques affiliated to Muhammadiyah organization.
The first are mosques legally and fully owned by Muhammadiyah, in that the mosques’ ownership and management are under Muhammadiyah's prerogative rights. These mosques have never been and should never be taken over by anyone, whether individuals or groups, from within or other mass organizations; for example, At-Taqwa Mosque located on Mandiralar Street and Al-Falah Mosque on Dirgahayu street.
The second are mosques managed by Muhammadiyah members, but their legal ownership does not belong to Muhammadiyah.
Within this second category, Mr. Daeng admitted, several mosques have been taken over by other organizations or groups. According to Mr Daeng, "the acquisition begins with the management control first. The management was formed in such a way as to fit the goals of certain groups, which eventually did not follow Muhammadiyah's instructions as the owner of the management rights. This is what happened to Ridwan Mosque on Diponegoro Street.
Over time, the mosque management began to disagree with Muhammadiyah. The management made policies that were not in line or entirely in conflict with Muhammadiyah. They ran their own religious activities, such as, in the case of inviting preachers, they did it without coordination with Muhammadiyah committee.
After a long time, Muhammadiyah finally decided to "let go" of the mosque. This decision is better for Muhammadiyah because it has no longer have to take responsibility for conflicts within the mosque after the management repeatedly defied its directions and instructions. Letting go of the management, which in turn means relinquishing responsibility, is considered a better decision.
In Indonesia, the transfer or takeover of mosque management from one organization or group or community to another is not new. Similar cases have occurred in several regions in Indonesia. Some takeovers take place peacefully, but sometimes it involves physical confrontation between opposing members of the society. (See, A. Wahid, 2009). In fact, some disputed mosques were demolished (see, Nuh, 2009). One example is the vying for Hidayatullah Mosque between the Salafi community and members of Nahdlatul Ulama (NU) in Pasuruan. The mosque was built by NU residents and Indonesian Ministry of Religious Affairs. Some time later, the Salafi community began to control the dynamics of the mosque, undermining the role of NU residents doing activities in the mosque.. The climax was when NU residents were barred by the Salafi community from praying tarawih at the mosque. The conflict escalated.
Mr Daeng then added his analysis that a change in the status of mosque management from Muhammadiyah to other groups is very likely to occur because Muhammadiyah mosques are very open to anyone regardless of their ideology, orientation, or affiliation.
The managerial change of Ridwan Mosque from Muhammadiyah to the Salafi group made it easier for Salafi activists to develop and spread Salafi beliefs. First they established a footing in the mosque, then set out the criteria and policies for selection of preachers, imams, or speakers of the routine discussions held by the mosque, where those non-Salafi manhaj (methodology) would be rejected. Some preachers who used to give speeches in Ridwan Mosque now no longer deliver sermons there because they neither agree nor practice the Salafis’ ideology.
On a different occasion, I met a prominent figure who used to be a preacher in Ridwan Mosque. Let us call him Mr A. He said, "Since Ridwan Mosque was managed by non-Muhammadiyah and proclaimed itself as a Salafi mosque, many ustadzs (Islamic teachers), including myself, who used to give sermons, have no longer received speech schedules or are no longer used. They only invite ustadzs who have Salafi leaning. Even in congregational prayers, the ustadzs who do not practice Salafi beliefs are not to become an Imam again.“
This fact was explicitly admitted and confirmed by Ust. Cipto, one of existing ustadzs and Islamic preachers in Ridwan Mosque. He said, "A speaker, khatib (preacher), and imam at Ridwan Mosque must be vetted first. For example, how is this person, who is he, and what is his manhaj? If he is not cleared, he cannot become a speaker, preacher, or imam at Ridwan Mosque. We must not choose a speaker carelessly. Why? Because we have tried and worked hard to build, develop and maintain the Salaf manhaj in this mosque. We do not want a dissenting preacher ruins the existing order and Salaf manhaj. It is not that we are unhappy with those who think differently. Thoughts and understandings may be different, but we won’t let them fill in our mosque. The point is we are trying to protect the Salaf manhaj's existence in Ridwan Mosque.“
It is obvious that the Salafi group is very firm and does not play around in propagating the Salaf manhaj. They do not tolerate any gaps, however small, that may give ways to the damage of the order and study of Salaf manhaj, due to the fact that there are preachers and Muslim clerics holding different manhaj. They had established their foothold with an uphill battle, so they would maintain and defend it as hard. As the saying goes, “Keeping something is harder than reaching it.”
Like other Salafi communities in various regions in Indonesia, which organize their activities by establishing a foundation, the Salafi community in Ridwan Mosque also did the same. They even established two foundations at once.
This pattern of establishing a foundation by various Indonesian groups is not without a cause. There are two legal reasons for this pattern.
1. With the legal entity of foundation, these groups can get permission from the State to carry out social, religious and humanitarian programs.
2. A foundation is a non-profit legal entity, whose programs empower people and strengthen civil society, and are therefore exempt from paying taxes, and this in turn make it free from official audit by the State.
In practice, there are usually political motives behind establishing a foundation, such as maintaining a dominant political dynasty. In addition, they want to spread a certain ideology, such as the one practiced by Salafi groups in propagating their teachings and activities in Indonesia.
According to Jajang Jahroni, they use this strategy to avoid state control or public monitoring, especially regarding their operational funds and assets. Also, using a foundation, Salafi groups can collaborate and gain donors’ trust. Apart from domestic, a substantial portion of donation comes from benefactors from Middle Eastern countries that are very keen on spreading Salafi ideology, such as Jam'iyyah Turath Al Islami Al Kuwaiti. Cooperation with various other religious organizations will also be easier under the auspices of a foundation legal entity. Even with it, Indonesian Salafi groups can take part in central and local government programs.
The things above are fully understood by the Pamekasan Salafi group. As previously mentioned, they even set up two foundations at once.
First, they established Ridwan Mosque Foundation, which focuses on religious development, such as facilitating learning Al Quran, including tahsin (improving the articulation of recitation) and tahfidz (memorization of the verses). This foundation is currently chaired by Amin Hosni Bauzir, one of the owners of the HB Batik cloth shop in Pamekasan. This foundation has the structure of a Chairman, Secretary, Treasurer, Board of Trustees and Advisory Board.
This foundation collaborates with the Mosque Prosperity Council in carrying out religious activities at Ridwan Mosque. Some of the activities at Ridwan Mosque are Friday night studies discussing the book Fawaidul Fawaid, taught by Ust. Cipto. Sunday nights’ study discusses a different book each week. The first week is by Ust. Umar Bamajbur who reviews Tazkiyah Nufus, the second Sunday night is by Ust. Mufi Hanif Thalib discussing Asy'aratus Syaah, and the fourth week discusses Tahdzib Akidah Islamiyah which is taught by Ust. Aunur Rafik. On Monday nights, special Muslimah studies are delivered with different themes depending on the speaker. Teenagers are taught on Sunday afternoons by Ust. Umar Bamajbur. In addition, every evening there are school-age children groups studying Islamic lessons, tahfidz, and tahsin recitation. Ridwan Mosque Foundation also manages Ihya'us Sunnah Radio that broadcasts lectures from Ridwan Mosque and relays programs from a national Salafi radio called Radio Rodja.
Second, they established Cahaya Ummat Foundation (“cahaya ummat” literally means “light of Muslims”) which engages in social affairs. This foundation is very well-known by Pamekasan community because almost every area in Pamekasan has been touched by this organization's social assistance. The chairman is Sonny Ansori. The organizational structure includes trustees, administrators and supervisors. This foundations’ vision is: “Making Cahaya Ummat Pamekasan as one stop service for humanity”. And its missions are: Collecting public or community funds in the form of zakat, infaq, charity or otherwise, and channeling them honestly and efficiently to community members who need them, especially the less fortunate.
This second foundation also has several main programs, namely:
1. Ambulance for the Muslims: this program is a free ambulance service for all people who cannot afford it without exception.
2. The distribution of free sembako (staple food packages) for the poor, including mosque imams who are less well off financially.
3. Madura Water Charity which focuses on distributing water to areas experiencing drought due to a long dry season. Apart from supplying water through water tanks to residents, this program also helps and facilitates well drilling in various areas.
4. The TIRZAH (Funeral Team) program. In essence, this team’s members are in charge of taking care of the dead, starting from preparing the toiletries, washing the body, wrapping it up, preparing an ambulance and burying it.
5. Free Medical Equipment Loan for outpatients (that is, those treated at home), such as oxygen cylinders, nebulizers, canes, wheelchairs, water mattresses, hospital beds and so on.
6. RUHAFA (Healthy Home for the Marginalized),
7. Free Mass Circumcision
These programs really help the lower middle class, especially those in the northern area of Pamekasan. These programs are a form of Salafi group social activities in solving basic community problems and a tangible form of support for government programs.
Regarding Cahaya Ummat Foundation, the public only knows it as a social foundation. That's it. In the eyes of Madurese, there is nothing special about the social activities carried out by this foundation, other than the benefits which greatly help their lives.
The volunteers of this foundation also do not preach directly to the public about Salafi manhaj. This pattern is almost uniformly practiced by other Salafi social foundations across Indonesia, a pattern chosen to gain sympathy and avoid possible frictions.
Engaging in social assistance activities, without having to carry the attributes of the Salafi manhaj is also an embodiment of the method applied by Prophet Muhammad’s da’wah (spreading of Islam). In the initial phase of his da’wah, the Prophet presented himself as a role model of kindness in social life. This is also the thinking of the Salafi group.
Madurese’s ignorance about this Salafi group's movement may be due to their lack of understanding about Islam's diverse schools of thought and groups. The educational background may have caused this.
Madurese are generally traditional, only living a religious life that has been passed down from generation to generation. Rarely do they meet a different Islamic group. These two things make them unsuspecting of existing Islamic movements, as long as they do not disturb their fundamental ways of life.
Therefore, the activities of the Cahaya Ummat Foundation hardly encountered any significant obstacles or hindrances. There is no resistance from or friction against the community. On the contrary, this foundation receives a warm welcome because of the social assistances it provided.

Non-Ridwan Mosque Salafis
Salafi groups in Pamekasan Regency are more than those who congregate in Ridwan Mosque. In addition to those whose activities centered at Ridwan Mosque, there are also Salafi groups whose activities are in Pamekasan’s other mosques.
They used to be part of the existing congregations in Ridwan Mosque, but due to differences in understanding, they are no longer active and have made other mosques as their bases. An example of this difference in understanding is how to respond to the government and its policies.
The difference may not be visible as it does not create a boundary that cut the ties between the two groups. In general, the Salafi community in Ridwan Mosque believe that obeying the government is an absolute must. The following statement by Ust. Ghufron concludes this point.
He said, "Like it or not, every Muslim is obliged to obey his leader as long as he does not order us to commit immorality. “
He then added, "Opposing a leader can make Muslims fall into the brink of disaster. He gave an example of many countries experiencing chaos because the relationship between leaders and their people was not harmonious. A real example is the countries in the Middle East that are devastated by the outbreak of civil wars that never end.“
The above statement was corroborated by Ust. Cipto who stated that, "A Muslim should be obedient and submissive to the government. Even if you want to advise the government, do it in a gentle, polite, kind way, not the other way around, blaspheming in public, and in the social media.“
On the other hand, the non-Ridwan Salafi community stated that not all government policies must be followed. If the government and its policies conflict with Allah and His Messenger, then they must be rejected and must not be obeyed. For them, obeying the government is not an absolute duty. Obeying the government depends on the policies they make.
A statement by a Salafi member I met, which is in cotradiction with Ridwan Mosque ustadzs above, clearly expresses rejection and dissension. He called himself a Salafi Minus. He said, "I am a Salafi Minus, meaning minus my obedience to amirul mukminin (leader of believers). Because amirul mukminin is to be obeyed only if he is compliant with the Prophet and Allah.“ This non-Ridwan Mosque Salafi group seceded but did not oppose the main camp.
They oppose the government for making policies that are not pro-Muslims. When the government made a policy that threatened Muslims’ interests, they would ridicule or sarcastically insult the other group, "la kan-kakan pamarentanah ba’nah jiyah, toro’eh maskeh tak teppak. la la’kala’ ba’nah dhibik. Engkok tak ngampongah" (You asked for it! Now obey your government blindly despite their wrong policies! Eat it all, don’t get me involved).
A good example is the issue of public health insurance known as the Social Insurance Administering Body for Health or BPJS Kesehatan. According to this group, BPJS contradicts Islamic sharia law because it is strongly suspected of involving gharar (fraud) or unclear agreement, which leads to the potential maysir (gambling/speculation), and eventually generates usury.
Apart from the differences in understanding of how to respond to the government, both groups also differ on the issue of ustadzs considered as non-Salafi.
One such member I met was Alim. He is a former employee of the Cahaya Ummat Foundation who is no longer active at Ridwan Mosque. Alim expressed his disapproval of the attitude of Ridwan Mosque Salafi community for their exclusion of non-salafi ustadzs. Alim maintained that the Salafi community of Ridwan Mosque were unwise for not acknowledging or listening to lectures from ustadzs outside of their group.
Alim gave an example. Once he shared a lecture by Ust. Adi Hidayat, one of Muhammadiyah preachers who is widely poplar in Indonesia at the moment, to the WhatsApp group of Cahaya Ummat employees. He was warned to not carelessly share a lecture from an ustadz outside of the Salafi group. Alim insisted that his act of sharing Ust. Adi Hidayat's lecture was not a transgression. And the ustadz's lecture was also in accordance with Al-Qur'an and Hadith.
However, Alim's view was different from those of other Salafi members. According to this group, the lectures of Ust. Adi Hidayat should be avoided, even they should be ignored, because his manhaj and religious understanding are wrong and inconsistent with the manhaj of ahlussunnah, especially in the matters of aqidah (creed).
Moreover, regarding Ust. Adi Hidayat, prominent Salafi ustadzs in Indonesia such as Ust. Abdullah Taslim, Ust. Firanda Andirja, Ust. Zainal Abidin, Ust. Abul Jauzaa have already given warning of the dangers of Adi Hidayat's understanding and manhaj. The ustadzs above urged Indonesian Muslims to not imitate, follow, sit together and study from Ust. Adi Hidayat. Because he was considered to have fallen into an error.
Finally, due to the above disagreement, Alim was expelled from the WhatsApp group and also fired from his position as an employee of Cahaya Ummat.
It should be emphasized again here that the two Salafi groups in Pamekasan differ in just few minor ideas, and this difference did not cause intrigues or points of dispute. Each has their own base and activities, and they often exchange religious teachers (ustadzs) to teach each other in their respective discussion.

Conclusion
To conclude, Salafi discourses in Pamekasan have been started since 1998 at Al-Falah Mosque, although they were still in the form of small group discussions attended by few participants guided by an ustadz from Morocco (Ust. Barojak).
Salafi discourses in Pamekasan developed rapidly in 2000 when Ridwan Mosque started conducting Salafi studies initiated by Al-Irsyad community. Salafi studies grew more rapidly when the management of Ridwan Mosque was taken over by the Salafi group, which later succeeded in establishing two foundations at once: Ridwan Mosque Foundation which focuses on religious activities and Cahaya Ummat Foundation which focuses on social activities.
As an important note, the Salafi community in Pamekasan is not a single entity. In Pamekasan, besides the Salafi group based in Ridwan Mosque, there is another that seceded from Ridwan Mosque because of differences in attitudes towards government policies and in response to other non-Salafi ustadzs whose lectures and studies still conform with Al-Qur'an and Hadith.
Indonesian to English: INDEPENDENSI KOMISI/LEMBAGA KEKUASAAN PENUNJANG DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA
General field: Other
Detailed field: Government / Politics
Source text - Indonesian
INDEPENDENSI KOMISI/LEMBAGA KEKUASAAN PENUNJANG DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA


I. PENDAHULUAN
Tonggak reformasi Indonesia yang mensejarah ditandai dengan amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selama empat kali mulai tahun 1999 sampai dengan 2002, seakan bangsa Indonesia memulai hidup baru dengan struktur dan pola ketatanegaraan yang berubah. Kelembagaan negara juga mengalami banyak perkembangan yang diantaranya setelah adanya amandemen tersebut banyak lembaga Negara baru yang dibentuk setelah perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, bahkan sistem ketatanegaraan mengalami banyak perubahan, mulai dari adanya lembaga baru yang ditambah dalam amandemen seperti mahkamah konstitusi dan komisi yudisial, ada juga lembaga negara yang dihapus dari stuktur kelembagaan negara setelah perubahan UUD Negara RI Tahun 1945 yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Munculnya lembaga-lembaga baru sebagai wujud dilakukannya perubahan UUD Negara RI Tahun 1945 biasa dikenal dengan sebutan state auxialiary organ atau state auxialiary institutions yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan dalam hal ini hanya sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang.( Rizky Argama :2007)
Banyak lembaga yang lahir dengan membawa semangat perubahan yaitu independensi. Sifat lembaga penunjang yang membawa semangat “kebebasan dari intervensi/Independen” adalah hal yang realistis karena keinginan akan terbebasnya pengaruh lembaga pemerintah seperti yang terjadi pada orde sebelumnya dimana pemerintah masuk dan mengkooptasi lembaga legislatif pun yudikatif.
Semangat independensi yang dilekatkan pada kelembagan-kelembagaan penunjang tersebut semakin menarik untuk dikaji, mengingat dari sisi tugas dan wewenangnya sesungguhnya keberadaan lembaga-lembaga yang ingin independen tersebut tidak sepenuhnya ternyata kelembagaan yang benar-benar merupakan lembaga yang tidak ada hubungan dengan 3 pemegang kekuasaan Negara yaitu eksekutif, legislative dan yudikatif. Bahkan ada yang merupakan tugas dan kewenanganya secara langsung memang supporting lembaga pemegang kekuasaan utama dalam Negara.
Sehingga secara garis besar Lembaga penunjang yang membawa semangat independensi tersebut terpetakan menjadi 3 kelompok besar: 1) lembaga penunjang tupoksi 3 pemengang kekuasaan utama, diantaranya Komisi Yudisial, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, 2) Lembaga yang tidak secara langsung menunjang tupoksi 3 kekuasaan utama, misalnya Komisi Penyiaran, Ombudsman. 3) lembaga yang memang merupakan tugas diluar tugas 3 pemegang kekuasaan utama. Misalnya Komisi Pemilihan Umum, Komisi Hak Azasi Manusia dan lainnya.
Dalam kajian ini yang akan menjadi titik tolak penelusuran bagaimana bentuk independensinya dan bagaimana hubungan relasi kelembagaan dengan lembaga pemangku kekuasaan utama lainnya. Kajian ini sifatnya memberikan deskripsi dengan membandingkan keberagaman independensi lembaga/komisi penunjang kekuasaan utama tersebut dalam struktur dan praktek kenegaraan di Indonesia. Focus sebagai sample kajian adalah pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman RI (ORI) dan Badan Pengawan Keuangan (BPK) RI. Pilihan pada ketiga lembaga tersebut untuk memberikan gambaran yang cukup mewakili keragaman lembaga / komisi independen di Indonesia, mengingat KPK sebagai lembaga penunjang penegakan hokum, BPK lembaga penunjang pengawasan, dan ORI lembaga pengawasan pemerintahan. Dari sisi landasan hukumnya ketiganya juga cukup mewakili keragaman dasar hokum pendiriannya, BPK dilandasi Konstitusi UUD 1945, KPK dilandasi UU no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan ORI di landasi oleh UU 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.











II. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

1. Latar Kelahiran KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah salah satu anak kandung dari Reformasi, dibentuk sebagai bagian dari latar era reformasi di Indonesia, karena maraknya korupsi disegala bidang. Maka melalui paket Undang-undang perubahan pemberantasan korupsi berdasarkan pasal 43 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kemudian dibentuklah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang sah didirikan dan mempunyai legitimasi untuk menjalakan tugasnya mulai tanggal 27 Desember 2002.
Lembaga ini dibentuk sebagai wujud karena sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia, disamping itu pemberantasan korupsi di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara optimal. Pembentukan KPK juga dengan pertimbangan bahwa pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah belum berfungsi secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. korupsi di Indonesia sudah semakin meluas dan merambah pada berbagai elemen tak terkecuali pada lembaga-lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Korupsi tidak saja semata-mata merugikan keuangan Negara, namun juga telah melanggar hak- hak social dan ekonomi masyarakat, bahkan dikategorikan sebagai extraordinary crime.

2. Independensi KPK Terhadap Institusi Lain
Konsepsi lembaga negara independen merupakan paradigma lembaga negara yang berkembang dalam konteks negara modern. Hal ini tercermin dari dinamika ketatanegaraan di berbagai negara yang tidak hanya terdikotomi dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif, melainkan juga telah muncul cabang kekuasaan “keempat” yang dikonsepsikan terpisah dari ketiga kekuasaan negara tersebut. Bruce Ackerman menyampaikan bahwa telah muncul konsep baru seputar pembagian kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat. Ia memaparkan bahwa kekuasaan di Amerika Serika tidak hanya ditopang oleh 3 cabang kekuasaan, Menurut Bruce Ackerman pada konteks Amerika Serikat setidaknya ditopang oleh 5 cabang kekuasaan, dan salah satunya adalah lembaga independen, sehingga dari penjelasan di atas dikatakan dalam koteks negara modern lembaga independen dapat dikategorikan sebagai salah satu cabang kekuasaan keempat, maupun cabang kekuasaan yang baru.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 36/PUU-XV/2017 menegaskan syarat-syarat suatu lembaga negara dikategorikan sebagai lembaga independen yaitu
1. Posisi Independen dinyatakan secara tegas dalam dasar hukum pembentuknya, baik yang diatur dalam konstitusi atau diatur dalam undang-undang;
2. Pengisian Pimpinan Lembaga bersangkutan tidak dilakukan oleh satu lembaga saja;
3. Pemberhentian hanya dapat dilakukan atas dasar sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang yang menjadi dasar pembentukan lembaga negara tersebut;
4. Presiden dibatasi untuk tidak bebas memutuskan (discretionary decision) pemberhentian pimpinan lembaga independen; dan
5. Pimpinan bersifat kolektif dan masa jabatan para pemimpin tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian.
Apabila menjadikan kriteria tersebut sebagai pijakan menganalisis Komisi Pemberantas Korupsi, maka sejatinya KPK adalah lembaga negara yang merupakan lembaga yang memenuhi kriteria sebagai lembaga negara independen, sebagaimana dari penjelasan di atas.
Pertama, terkait dengan independensi dari KPK sudah jelas dinyatakan dalam Pasal 2 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa KPK adalah lembaga independen yang bebas dari campur tangan kekuasaan mana-pun.
Kedua, adalah bahwa KPK tidak dibentuk oleh kekuasaan eksekutif semata, namun dibentuk oleh 2 lembaga pemegang kekuasaan negara pertama, seleksi dilakukan oleh Pemerintah dan kemudian penentunya menjadi definitif dipilih oleh DPR. Hal ini mengacu pada Pasal 30 Ayat (1), yang di dalamnya menjelaskan bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden. sehingga dengan demikian ada dua pihak yang terlibat dalam pembentukan lembaga negara ini bukan kehendak mutlak dari Eksekutif (Presiden), justru lembaga negara ini para pimpinannya dipilih oleh DPR.
Ketiga, mengenai tata-cara pemberhentian para pimpinan KPK, hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 Pasal 32 Ayat (1) yaitu di antaranya adalah : a) meninggal dunia; b)berakhir masa jabatannya; b)menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan; c) berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya; karena mengundurkan diri; atau dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini. Di luar alasan-alasan tersebut Pimpinan KPK tidak dapat diberhentikan secara sepihak.
Keempat, dalam hal pemberhentian, Presiden tidak bisa secara sepihak memberhentikan para pimpinan KPK, sebagaimana Presiden dapat memberhentikan para menteri. Presiden baru bisa memberhentikan para pimpinan KPK apabila dinilai melanggar syarat-syarat yang sudah penulis sebutkan sebelumnya, mengenai hal tersebut juga sifatnya Presiden hanya menetapkan.
Kelima, pimpinan KPK adalah kolektif kolegial, yang dalam hal ini tidak ada posisi yang lebih tinggi di antara para pimpinan, dalam Pasal 21 Ayat (6) juga disebutkan bahwa para pimpinan KPK menjalankan tugasnya secara kolektif. Selain itu penulis pada Sub Bab sebelumnya juga sudah membahas terkait dengan kedudukan lembaga negara penunjang yang tidak senantiasa merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif, banyak juga lembaga negara penunjang yang secara karakter tidak dapat dikategorikan pada salah satunya. Sehingga bagaimana melihat KPK, dari penjelasan tersebut sejatinya sudah sangat jelas bahwa KPK adalah lembaga negara penunjang yang bersifat independen, yang tidak dapat diklasifkasikan dalam cabang kekuasaan mana pun.
Serangkaian putusan Mahkamah Konstiusi berulangkali menyatakan independensi posisi KPK, diantaranya; a) PMK No 012-016-019/PUU-IV/2006, tertanggal 19 Desember 2006; b) PMK No 19/PUU-V/2007, tertanggal 13 November 2007; c) PMK No 37-39/PUU-VIII/2010, tertanggal 15 Oktober 2010; dan e) PMK No 5/PUU-IX/2011, tertanggal 20 Juni 2011. KPK sebagai lembaga independen dalam tatanan ketatanegaraan di Indonesia masih dapat ditelusuri dari belasan Putusan MK yang lain. Namun, secara umum PMK tersebut menegaskan: 1) Pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitussional (constitutionally important) dan keberadaan komisi-komisi negara semacam KPK telah merupakan suatu hal yang lazim; 2) sifat kelembagaan KPK
adalah sebagai lembaga penegakan hukum dalam bidang tindak pidana korupsi; 3) KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari (campur tangan) kekuasaan manapun; 4) KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain; 5) Pimpinan bersifat kolektif dan berakhirnya masa jabatan pimpinan (dapat) habis secara bergantian (staggered terms).
Dengan adanya teori tata negara dan rekaman putusan Mahkamah Konstitusi diatas, telah menjadi garda terdepan dalam mempertahankan dan meneguhkan posisi KPK sebagai lembaga independen. Perbincangan yang akhir-akhir ini hadir diberbagai lini, mengumandangkan bahwa KPK merupakan lembaga ad-hoc yang hadirnya hanya sementara waktu dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Perspektif demikian teramat lemah, karena UU KPK itu sendiri tidak menyatakan secara eksplisit bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc. Dalam semangat pemberantasan korupsi, Indonesia jauh-jauh hari telah mengumandangkannya dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dilanjutkan dengan Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN. Sedangkan dalam tataran Internasional United Convention Against Corruption(UNCAC), juga menyatakan bahwa setiap negara peserta dibebani kewajiban untuk membentuk lembaga khusus dalam memberantas tindak pidana korupsi

3. Landasan Hukum KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.
KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
Status hukum komisi ini secara tegas ditentukan sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Pembentukan komisi ini bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah berjalan sejak sebelumnya. Dalam menjalankan tugas dan wewenang itu, komisi bekerja berdasarka asas-asas (a) kepastian hukum, (b) keterbukaan, (c) akuntabilitas, (d) kepentingan umum, (e) proposionalitas.

4. Independensi dalam Mengatur Internal
Secara internal KPK kemudian mengatur struktur didalam kelembagaanya dengan beberapa peraturan yang dibuatnya:
a. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2012
b. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 6 Tahun 2012
c. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 7 Tahun 2013
d. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 8 Tahun 2013
e. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2014
f. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2014
g. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2015
h. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 4 Tahun 2015
i. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Perbuahan Atas Peraturan Pemberantasan Korupsi Nomor 02 Tahun 2014 Tntang Pedoman Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi;
j. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyeenggaraan Negara;
k. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 10 Tahun 2016 tentang Disiplin Pegawai Dan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi;
l. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 8 Tahun 2017 tentang Laporan Harta Kekayaan Pegawai/Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi;
m. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberatasan Korupsi.

5. Instrumen Dan Indicator Independensi
1) Desain Institusi
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) menggariskan bahwa KPK sebagai suatu institusi independen terdiri dari:
a. Pimpinan KPK
Pimpinan KPK terdiri dari 5 orang dengan susunan 1 orang ketua dan 4 orang wakil ketua sekaligus merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK ini bekerja secara kolektif kolegial dan menjadi penanggungjawab tertinggi dalam struktur organisasi KPK.
b. Tim Penasehat
Tim Penasehat KPK diangkat oleh KPK melalui mekanisme pemilihan oleh suatu panitia seleksi yang dibentuk oleh KPK. Tim Penasehat ini berfungsi memberikan nasehat dan pertimbangan sesuai kepakarannya kepada KPK dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
c. Pegawai KPK sebagai Pelaksana Tugas
KPK sebagai suatu lembaga negara membawahi 4 bidang yang terdiri dari:
a. Bidang Pencegahan
1. Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara;
2. Subbidang Gratifikasi;
3. Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan
4. Subbidang Penelitian dan Pengembangan
b. Bidang Penindakan
1. Subbidang Penyelidikan
2. Subbidang Penyidikan
3. Subbdang Penuntutan
c. Bidang Informasi dan Data
1. Subbidang Pengawasan Internal
2. Subbidang Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi
3. Subbidang Monitor
d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
1. Subbidang Pengawasan Internal
2. Subbidang Pengaduan Masyarakat

2) Otonomi dari Politik dan Industri
a. Pemilihan Pimpinan KPK
Salah satu LNI di Indonesia yang banyak mendapat sorotan sejak awal mula pembentukannya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Korupsi memang menjadi permasalahan yang sangat krusial bagi setiap negara. Tidak berlebihan jika Denny Indrayana menyebut kejahatan maha haram ini sebagai sumber dari segala bencana dan kejahatan (the roots of all evils).
Oleh karenanya, perang terhadap korupsi seringkali menjadi agenda utama pada hamper seluruh negara termasuk Indonesia, terutama pasca reformasi. Edgargo Buscaglia dan Maria Dakolias dalam An Analysis of the Causes of Corruption in the Judiciary, sebagaimana dikutip Denny Indrayana mengatakan bahwa perang melawan korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa reformasi. Sebab adalah hal mustahil untuk mereformasi suatu negara jika korupsi masih merajalela. Dengan demikian, KPK hadir sebagai LNI untuk menjawab tantangan terbesar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia pasca reformasi.
Legitimasi KPK sebagai LNI diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi133 yang sebenarnya merupakan amanat dari Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Independensi KPK sendiri secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 3 UU KPK yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat “independen”, dan bebas dari pengaruh kekuasaaan manapun. Selanjutnya dalam penjelasan UU KPK, “kekuasaan manapun” ditafsirkan sebagai kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota KPK secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif dan legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Pimpinan atau komisioner KPK berjumlah 5 orang, terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua yang semuanya merangkap sebagai anggota. Pengisian jabatan pimpinan KPK melibatkan unsur pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif) yang masing-masing berperan dalam proses rekrutmen dan seleksi. Hal ini sesuai Pasal 30 ayat (1) UU KPK yang menyatakan bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Proses rekrutmen calon pimpinan KPK dilakukan oleh panita seleksi (pansel) yang dibentuk oleh presiden. Pansel ini terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat yang bertugas melaksanakan proses rekrutmen calon mulai dari pendaftaran hingga dipilihnya nama-nama calon pimpinan yang akan diserahkan kepada presiden. Setelah pansel memilih dan menetapkan sebanyak dua (2) kali dari jumlah jabatan pimpinan yang dibutuhkan, yakni untuk calon pimpinan KPK sebanyak 10 orang (dua kali jabatan pimpinan KPK yang terdiri dari 5 orang) dan menyerahkan nama-nama tersebut pada presiden, selanjutnya Presiden akan menyerahkan 10 nama tersebut pada DPR untuk dilakukan proses seleksi berupa uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test.
Dalam proses seleksi ini, DPR wajib memilih dan menetapkan 5 orang nama pimpinan KPK, beserta nama satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang semuanya merangkap sebagai anggota. Tahap akhir dari proses seleksi ini, DPR menyampaikan pimpinan terpilih kepada presiden untuk disahkan melalui Keputusan Presiden (Keppres). Bagan pengisian jabatan pimpinan KPK dapat dilihat sebagai berikut:

MEKANISME PENGISIAN JABATAN KPK
















Mekanisme yang sama juga diterapkan pada saat pengajuan calon pengganti apabila terjadi kekosongan jabatan pimpinan, baik itu karena pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan sebelum masa jabatannya habis (4 tahun). Pasal 33 ayat (1) dan (2) UU KPK menyatakan bahwa dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dimana prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30,dan Pasal 31 (sesuai prosedur sebagaimana digambarkan dalam skema 2).
Masalah pengisian jabatan pimpinan KPK tidak mendapat porsi yang cukup besar dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK yang dilaksanakan mulai tahun 2001 hingga akhir tahun 2002. RUU KPK yang diajukan oleh Presiden berdasarkan Surat Presiden RI No. R.13/PU/VI/2001 tertanggal 5 Juni 2001 memang telah mengamanatkan bahwa Pimpinan KPK dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Pemerintah. Terkait dengan rumusan dalam RUU ini, hanya tiga fraksi yang menanggapi perihal peran DPR dalam menyeleksi calon pimpinan KPK. Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) sempat mempertanyakan sejauh mana peran DPR dalam melakukan seleksi. Bahkan FKB dalam pandangan umumnya juga sempat mengusulkan bahwa mekanisme pemilihan ketua KPK seharusnya menjadi urusan internal komisi.
Selaras dengan hal ini Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) juga mempertanyakan apakah jika DPR memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memilih pimpinan KPK berarti KPK bertanggungjawab kepada DPR, namun hasil akhir RUU yang telah disetujui oleh DPR nyatanya meloloskan rumusan awal mengenai pengisian jabatan pimpinan KPK. Dalam penjelasan umum RUU KPK ditegaskan bahwa:
“Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga dengan dengan wewenang yang sangat luas, Undang-Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat agar sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi dua persyaratan yakni persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia”.
Nampaknya kewenangan besar yang diberikan kepada KPK untuk memerangi korupsi yang kian menjamur kala itu menuntut DPR sebagai representasi rakyat untuk melakukan pengawasan yang besar pula, salah satunya secara preventif dengan memilih pimpinan KPK hingga penentuan ketua dan wakil ketuanya yang juga harus mendapatkan restu dari DPR atas nama rakyat indonesia. Dengan demikian, DPR secara yuridis memiliki legitimasi yang cukup kuat untuk memilih pimpinan KPK melalui fit and proper test, sebab KPK merupakan lembaga yang memiliki kewenangan besar yang strategis dalam pemberantasan korupsi di Indonesia .
Akan tetapi, bila membandingkannya dari sudut pandang praktis, dapat dilihat bahwa pengisian jabatan pimpinan KPK yang melibatkan DPR untuk menyeleksi para calon pimpinan lagi-lagi menyisakan permasalahan krusial yang secara tidak langsung dapat mengikis independensi lembaga anti rasuah ini. Sebab pada akhirnya pertarungan yang terjadi pada saat proses fit and proper test bukanlah pertarungan argumentasi melainkan pertarungan politik.
Kewenangan DPR dalam memilih pimpinan sekaligus ketua dan wakil ketua KPK pada tahun 2014 lalu sempat diajukan judicial review kepada MK, bersamaan dengan diajukannya judicial review UU KY yang juga menggugat kewenangan DPR yang over act atau berlebihan dalam menyeleksi anggota KY. Adanya permohonan judicial review ini sebenarnya dapat menjadi sebuah pertanda bahwa pengisian jabatan yang dibangun melalui UU KPK tidak mencerminkan prinsip independensi dan sangat rentan akan politisasi yang pada akhirnya akan mengganjal kinerja KPK sendiri. Sayangnya, upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang baik, sebab MK menolak untuk membatalkan beberapa pasal yang diujikan (Pasal 30 ayat (1), ayat (10) dan ayat (11) UU KPK), dengan dalil bahwa segala ketentuan mengenai pengisian jabatan pimpinan KPK beserta penentuan Ketua dan Wakil Ketua KPK merupakan opened legal policy. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum putusannya menyatakan:
“Dengan demikian, pembentukan UU KPK, meskipun dimaksudkan sebagai dasar hukum pembentukan lembaga dan mekanisme penegakan hukum luar biasa, namun secara kelembagaan tidak terdapat ketentuan konstitusional yang secara spesifik mengamanatkan pembentukannya, apalagi mekanisme pengisian pimpinan merangkap anggota KPK, karena hal tersebut merupakan tuntutan dari dinamika sosial politik dalam implementasi penegakan hukum yang berada dalam ranah kebijakan umum pemerintahan negara”.

3) Keterlibatan dalam Politik Praktis
Sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan hukum super body (penyidikan dan penuntutan serta berwenang melakukan penyadapan) dalam penegakan hukum menarik bagi politisi untuk menanam pengaruhnya pada lembaga ini. Pertarungan politik dimulai sejak pemilihan komisioner KPK yang dipilih dalm forum DPR. Kuatnya pertarungan politik dan adu kepentingan dirasakan pada saat pemilihan pimpinan KPK Jilid II pada tahun 2007. Marwan Effendy yang kala itu baru lepas dari Kepala Kejaksaaan Tinggi Jawa Timur yakin akan terpilih menjadi komisioner KPK, sebab ia adalah satu-satunya wakil jaksa dari 10 calon yang lolos. Namun, begitu Antasari Azhar, koleganya sebagai jaksa masuk dalam daftar menggantikan Saut Situmorang, Marwan pun dihubungi oleh dua pemimpin fraksi sebelum fit and proper test dilaksanakan. Dua pimpinan fraksi tersebut secara terang terangan meminta Marwan untuk mundur sebab ada instruksi pengalihan dukungan kepada Antasari. Namun tekadnya tetap bulat untuk melanjutkan proses seleksi. Hasilnya, Antasari masuk dalam 5 besar dengan perolehan 37 suara, sedangkan Marwan tidak masuk dalam 5 besar karena hanya memperoleh 27 suara, bahkan DPR pun juga menyematkan posisi Ketua KPK pada Antasari Azhar kala itu.
Kejadian semacam ini sayangnya terulang kembali pada pemilihan pimpinan KPK Jilid III. Isu yang mengemuka adalah posisi Ketua KPK yang dipertanyakan. UU KPK yang mengamanatkan DPR untuk memilih pimpinan sekaligus Ketua dan Wakil Ketua KPK, semakin membuka celah bagi DPR untuk menempatkan orang kepercayaannya pada posisi teratas di lembaga anti rasuah ini. Sekali lagi kekhawatiran semacam itu terbukti. Pansel KPK tahun 2012 memilih 8 calon yang akan diajukan ke Presiden sebelum diserahkan ke DPR. Bahkan pansel juga memberi skor dan mengurutkan nama calon sesuai dengan skor tersebut. Pada urutan empat teratas adalah Bambang Widjojanto, Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Handoyo Sudrajat. Menyusul di bawahnya Abraham Samad, Zulkarnain, Adnan Pandu Praja, dan Aryanto Sutaji. Setelah lobi-lobi dijalankan, baik dalam forum formal maupun di luar kantor, pada akhirnya hanya satu dari empat ranking teratas yang terpilih menjadi pimpinan KPK, yakni Bambang.142 Yang lebih mengejutkan lagi, DPR justru memilih Ketua KPK dari urutan ke-lima yakni Abraham Samad.
Pada proses rekrutmen sebelumnya, DPR justru mengkritik pansel yang melakukan pemeringkatan tehadap calon. Oleh karenanya pansel KPK tahun 2015 pada akhirnya tidak melakukan pemeringkatan, melainkan membagi delapan calon terpilih sesuai dengan pembidangan. Diharapkan DPR tidak lagi mempermasalahkan peringkat calon dan melakukan seleksi secara fair. Namun, lagi-lagi profesionalitas calon terkalahkan oleh politik transaksional pada saat fit and proper test. Akibatnya, pimpinan KPK Jilid IV yang dipilih karena faktor kedekatan dengan DPR banyak dikritik oleh masyarakat. Beberapa diantaranya bahkan dinilai sangat kontroversial atau tidak memiliki rekam jejak yang mumpuni.
Drama politik dalam pengisian jabatan KPK sebagaimana diilustrasikan diatas kembali lagi membuktikan bahwa diberikannya kewenangan menyeleksi pimpinan beserta ketua dan wakil ketua KPK kepada DPR berdasarkan UU KPK telah membuka celah politisasi terhadap lembaga anti rasuah ini. Dalam beberapa catatatan perjalanannya beberapa pimpinan KPK sempat tersandung masalah hukum. Satu diantaranya, Ketua KPK periode II (2007-2012) Antasari Azhar dicopot dari jabatannya pada pertengahan 2010 lantaran terlibat kasus pembunuhan. Antasari yang dipilih sebagai ketua KPK oleh DPR dengan menjungkir balikkan usul Pansel ini terbukti bermasalah. Selain kasus pembunuhan tersebut, Antasari juga dinilai tidak kompak dengan pimpinan lainnya, selain itu dirinya juga kerap kali melanggar beberapa kode etik pimpinan KPK.143 Pengisian jabatan yang masih menyisakan masalah ini tentunya perlu dikaji ulang agar kinerja dan independensi para pimpinan LNI yang memiliki constitutional importance seperti KPK dapat lebih optimal.
Sebaliknya kelembagaan KPK dalam masa awal pemerintahan Presiden Jokowi, KPK sempat dilibatkan oleh presiden dalam penyusunan kabinet kerja Presiden Jokowi, sehingga sempat beredar nama-nama calon yang mendapatkan raport merah dari KPK, sehingga calon-calon tersebut gagal menjadi kabinet kerja Presiden Jokowi. Secara normative tidak ada kewajiban presiden untuk meminta catatan raport calon menteri kepada KPK, namun Jokowi merasa perlu mendapatkan masukan dari KPK dengan motivasi bahwa kabinetnya adalah personal yang tidak memiliki beban dan bakal dipermasalahkan dalam perjalanan kabinetnya. Walaupun harapan ini juga tidak sepenuhnya sukses, terdapat beberapa nama di kabinet Jokowi yang akhirnya bermasalah dan berhenti ditengah jalan akibat kasus korupsi Seperti Idrus Marham Menteri Sosial RI.

4) Pengelolaan Keuangan dan kinerja
Sumber biaya anggaran KPK bersumber dari APBN, dalam struktur pengelolaan keuangan KPK memiliki kemandirian dalam mengelola keuangan. KPK merupakan satuan kerja pemerintahan pengelola APBN. Ketua KPK merupakan Pengguna Anggara (PA) dalam struktur pengelolaan keuangan negara. Laporan Keuangan KPK disusun sebagai salah satu pemenuhan kewajiban dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diamanatkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 jo. PP Nomor 8/2006. Opini Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Tahunan merupakan indikator akuntabilitas atas pertanggungjawaban penggunaan APBN oleh KPK (Undang- undang 15/2004). Opini BPK menjadi indikator objektif tentang:
1. Kesesuaian dengan Sandar Akuntansi Keuangan;
2. Ketaatan pada peraturan perundang-undangan;
3. Efektifitas Sistem Pengendalian Internal KPK; dan
4. Kecukupan pengungkapan dalam laporan keuangan
Sifat publikasi laporan keuangan maupun opini BPK yang terbuka juga mendorong budaya transparansi dan akuntabilitas sebagaimana asas yang diamanatkan Undang-undang Nomor 30/2002. Opini BPK atas Laporan Keuangan KPK tahun 2017 dari BPK sudah memberikan hasil. BPK pada 18 Mei 2018 telah memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian berdasarkan LHP-LK KPK 2017. Sehingga capaian atas KPI ini sebesar 100% (“Sangat Memuaskan”). Jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, LK KPK selalu mendapatkan opini WTP.
Besaran pendanaan KPK dalam paparan sejak anggaran tahun 2014, KPK dianggarkan dalam Pagu Indikatif sebesar Rp 623,97 M, sementara penggunaanya Rp 558,76 M, pada tahun 2015 anggaran pagu Indikatif sebesar Rp.623,97 M, penggunaanya Rp558,76 M, Tahun 2016 anggaran pagu indikatif Rp. 898,9M penggunaanya Rp 726,6 M. pada tahun 2017 Pagu Indikatif Rp 991,87 M penggunaanya Rp. 838,86 M, Anggaran Tahun 2018 pagu indikatif sebesar Rp 854,23 penggunaanya Rp 815,52 M. Sampai dengan Desember 2018, capaian kinerja KPK adalah sebesar 95,3% Jika dibandingkan dengan capaian kinerja pada tahun 2017, capaian kinerja KPK mengalami peningkatan. Dengan rincian dalam 4 perspektif (1) Perspektif Pemangku Kepentingan adalah sebesar 91,5% (2) Perspektif Proses Internal adalah sebesar 93,6 (3) Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan sebesar 102,5% dan (4) Perspektif Keuangan Perspektif keuangan menjadi perspektif yang selalu memberikan kontribusi yang konsisten bagi KPK pada beberapa tahun terakhir. Perspektif ini selalu memberikan capaian sebesar 100% sehingga dalam keempat perspektif terkategori “Sangat Memuaskan”. (Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK 2018)

5) Pengembangan dan Rekrutmen Sumber Daya Manusia
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 03 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK memiliki otoritas pengembangan Sumber Daya Manusia, KPK memiliki biro khusus yang bertugas melakukan pengembangan dan rekrutmen sumber daya manusia yaitu Biro Sumber Daya Manusia. Berdasarkan Pasal 16 ayat (3) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 03 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi, Biro Sumber Daya Manusia KPK bertugas untuk menyiapkan kebijakan, dan melaksanakan pengelolaan sumber daya manusia yang bekerja pada KPK melalui penerapan manajemen sumber daya manusia di bidang perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia, termasuk perencanaan pendidikan dan pelatihan pegawai serta pelayanan kepegawaian.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, Biro SDM sebagaimana ditegaskan oleh ayat (4) menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
a. Penyiapan rumusan kebijakan, perencanaan, pengendalian, evaluasi, pengadministrasian, pengamanan kegiatan, pengembangan sistem, prosedur operasi baku dan metoda kerja dalam penerapan manajemen sumber daya manusia di KPK;
b. Pelaksanaan kajian, telaahan dan/atau riset dalam rangka dukungan transformasi manajemen sumber daya manusia di KPK;
c. Pelaksanaan analisis beban kerja, analisis kebutuhan SDM, rekrutmen dan seleksi pegawai, pola karir pegawai dan pembinaan kepegawaian lainnya;
d. Pelaksanaan analisis jabatan dan evaluasi jabatan;
e. Penyusunan kamus dan standar kompetensi jabatan, pelaksanaan asesmen kompetensi, serta penyusunan dan implementasi manajemen kinerja individu;
f. Pelaksanaan analisis kebutuhan dan evaluasi pengembangan Pegawai termasuk dalam hal perencanaan pendidikan dan pelatihan serta evaluasi program pengembangan kompetensi pegawai;
g. Pelaksanaan administrasi pengangkatan, penempatan, mutasi dan pemberhentian pegawai;
h. Pengelolaan kompensasi dan kesejahteraan pegawai, asuransi kesehatan, tunjangan hari tua, dan pelayanan pegawai lainnya;
i. Pelaksanaan pengelolaan poliklinik KPK;
j. Pelaksanaan tugas lain dalam lingkup bidang tugasnya atas perintah Sekretaris Jenderal; dan
k. Penyusunan dan penyampaian laporan pelaksanaan tugas secara periodik dan/atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan.
Biro SDM sejatinya merupakan unsur pelaksana dari sebagian tugas Sekretaris Jenderal di bidang sumber daya manusia. Biro ini juga membawahi dua bagian yaitu:
1. Bagian Perencanaan dan Pengembangan SDM
Pasal 17 ayat (3) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 03 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan bahwa Bagian Perencanaan dan Pengembangan SDM bertugas melakukan pelaksanaan analisis kebutuhan SDM, seleksi rekrutmen, penyusunan kamus jabatan dan standar kompetensi jabatan, pelaksanaan analisis jabatan, pelaksanaan evaluasi jabatan, asesmen dan pembinaan pegawai lainnya.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, ayat (4) menguraikan lebih lanjut fungsi yang harus dilaksanakan oleh Bagian Perencanaan dan Pengembangan SDM yaitu:
a. Penyiapan rumusan kebijakan, perencanaan, pengendalian, evaluasi, pengadministrasian, pengamanan kegiatan, pengembangan sistem, pengembangan Pegawai, analisis kebutuhan pengembangan Pegawai, termasuk perencanaan pendidikan dan pelatihan Pegawai, prosedur operasi baku dan metoda kerja dalam pelaksanaan tugas Bagian Perencanaan dan Pengembangan SDM;
b. Pelaksanaan kajian, telaahan dan/atau riset dalam rangka dukungan transformasi manajemen sumber daya manusia di KPK;
c. Pelaksanaan analisis beban kerja, analisis kebutuhan dan perencanaan SDM/formasi pegawai;
d. Pengelolaan kegiatan rekrutmen calon pegawai bam, dan penempatan SDM;
e. Pelaksanaan analisis jabatan dan evaluasi jabatan melalui komite yang dibentuk secara khusus;
f. Penyusunan kamus dan standar kompetensi jabatan serta pelaksanaan asesmen kompetensi;
g. Bimbingan dan penyusunan rencana kinerja perorangan, coaching dan manajemen talenta, serta evaluasi kinerja perorangan untuk pengelolaan dan penerapan manajemen kinerja pegawai KPK;
h. Penyusunan, pembinaan dan penerapan pola karier, promosi, mutasi dan rotasi, pengelolaan, pengembangan dan pembinaan penerapan budaya kerja dan nilai KPK;
i. Penyusunan desain dan implementasi manajemen pengetahuan;
j. Pelaksanaan analisis dan evaluasi program kompetensi pengembangan Pegawai, termasuk diantaranya perencanaan pendidikan dan pelatihan;
k. Pelaksanaan tugas lain dalam lingkup bidang tugasnya atas perintah Kepala Biro SDM; dan
l. Penyusunan dan penyampaian laporan pelaksanaan tugas secara periodik dan/atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan.
Sebagaimana dijelaskan di muka, Biro Sumber Daya Manusia KPK merupakan biro yang bertanggungjawab terhadap proses rekrutmen pegawai KPK. Rekrutmen KPK sendiri dilaksanakan melalui program Indonesia Memanggil (IM). Program IM merupakan mekanisme seleksi calon pegawai KPK yang menekankan pada output pegawai KPK yang siap mengabdi kepada negara dengan kualitas dan integritas yang maksimal. Program IM ini terdiri dari 4 tahap yaitu:
a. Pendaftaran
b. Seleksi administrasi
c. Seleksi online
d. Tes potensi, kompetensi, kesehatan, dan wawancara
Setelah calon pegawai KPK dinyatakan lolos dalam keempat tahap tersebut, semua calon pegawai akan mengikuti program induksi selama 7 minggu. Program ini menitikberatkan pelatihan mental, fisik, dan intelijensi yang kuat dalam menjalankan tugas-tugas kepegawaian.
Secara garis besar, ada tiga materi induksi yang didapat para pegawai baru. Pertama, materi untuk membentuk wawasan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Di kelas ini, para pegawai baru akan belajar tentang kode etik, integritas, budaya kerja, dan nilai-nilai KPK. Selain itu, di materi ini akan ada pengenalan visi, misi, serta kebijakan dan strategi ketika sudah dilantik menjadi pegawai komisi.
Materi kedua adalah pelatihan dasar yang berisi pengetahuan dan keterampilan yang wajib dimiliki para pegawai KPK. Materi ketiga adalah kesamaptaan, alias kesehatan jasmani. Pelatihan ini keras, baik secara fsik maupun mental. Namun, memang itulah yang diperlukan untuk menjadi pegawai dari komisi yang bertugas memberantas kejahatan korupsi. Saking kerasnya, para alumni pelatihan ini selalu berkelakar: indah dikenang, pantang diulang

2. Bagian Pelayanan Kepegawaian
Pasal 18 ayat (3) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 03 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan Bagian Pelayanan Kepegawaian bertugas melaksanakan administrasi SDM dan pengelolaan pelayanan kesejahteraan pegawai.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, Bagian Pelayanan Kepegawaian sebagaimana ditegaskan dalam ayat (4) memiliki beberapa fungsi yaitu:
a. Penyiapan rumusan kebijakan, perencanaan, pengendalian, evaluasi, pengadministrasian, pengamanan kegiatan, pengembangan sistem, prosedur operasi baku dan metoda kerja dalam pelaksanaan tugas Bagian Pelayanan Kepegawaian;
b. Pengelolaan administrasi kepegawaian yang meliputi penyimpanan serta penyajian data dan dokumen pegawai, administrasi pengangkatan dan pemberhentian, administrasi penggajian, tunjangan pegawai serta insentif kinerja;
c. Pelaksanaan kompensasi pegawai yang meliputi gaji, tunjangan transportasi, pajak, asuransi kesehatan dan jiwa, tunjangan hari tua serta insentif kinerja sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;
d. Pencatatan, pelaporan dan penyajian data kehadiran dan time sheet pegawai serta kajian data informasi untuk peningkatan produktivitas sumber daya manusia;
e. Pengelolaan kesejahteraan pegawai lainnya yang meliputi pengelolaan konseling, kegiatan sosial dan hubungan kepegawaian;
f. Pengelolaan perbantuan dan pemberhentian pegawai, serta pemutusan hubungan kerja;
g. Pengelolaan poliklinik KPK;
h. Pelaksanaan tugas lain dalam lingkup bidang tugasnya atas perintah Kepala Biro SDM; dan
i. Penyusunan dan penyampaian laporan pelaksanaan tugas secara periodik dan/atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan
Translation - English
INDEPENDENCE OF COMMISSIONS/AUXILARY STATE ORGANS IN INDONESIA'S CONSTITUTIONAL STRUCTURE


I. INTRODUCTION
The historic reform milestone of Indonesia was marked by the amendments to its 1945 Constitution for four times from 1999 to 2002 as Indonesian people began a new life by changing the structures and patterns of the state administration. The state institutions also underwent several developments, such that after the amendment to the 1945 Indonesian Constitution, many new state institutions were established, even the constitutional system itself was changed, starting from the establishment of the Constitutional Court and the Judicial Commission until the abolition of Supreme Advisory Council (DPA).
These new institutions as a manifestation of the amendment to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia are commonly known as state auxiliary organs or state auxiliary institutions which in Indonesian language is defined as lembaga negara bantu (auxiliary state institutions), in this case they are state institutions with supporting nature (Rizky Argama:2007)
Many institutions were born with the spirit of change, namely independence. This spirit of “freedom from intervention/being independent" is realistic because, in the past during the New Order, the government penetrated and co-opted the parliament and even the judiciary system.
The spirit of independence attributed to these auxiliary institutions is increasingly an interesting area of research considering that in terms of their duties and authority, it turns out that these independence-aspiring institutions are not fully unrelated to the three branches of power namely the executive, legislative and judiciary. In fact, there are institutions whose duties and authority directly support the institution that holds the main power in the state.
Therefore, in general these independence-aspiring auxiliary organs can be categorized into three major groups: 1) auxiliary organs that support the principal tasks and functions of three branches of power, namely the Judicial Commission, the Supreme Audit Board and the Corruption Eradication Commission, 2) auxiliary organs that do not directly support the main three branches of power, for example the Broadcasting Commission and the Ombudsman, and 3) auxiliary organs whose tasks are outside the duties of the three main branches of power. For example, General Election Commission, Human Rights Commission and so on.
This study will investigate the forms of the independence of these auxiliary organs and will describe their institutional relations with the three main branches of power. This study provides descriptions by comparing the diverse independence of the institutions/commissions supporting the three branches of power in the structure and practice of statehood in Indonesia. Focused as the sample of study is the Corruption Eradication Commission (KPK), Indonesian Ombudsman (ORI), and the Supreme Audit Board (BPK). The choice of these three institutions is to provide an adequate picture representing the diversity of independent institutions or commissions in Indonesia, considering the KPK as an auxiliary organ for law enforcement, the BPK for financial supervision, and the ORI for government supervision. In terms of the legal basis, the three also adequately represent the diversity of the founding legal basis, where the BPK is based on the 1945 Constitution, the KPK on Law No. 30/2002 concerning the Corruption Eradication Commission, and the ORI on Law no. 37/2008 concerning the Ombudsman of the Republic of Indonesia.











II. CORRUPTION ERADICATION COMMISSION

1. Background of the KPK Establishment
The Corruption Eradication Commission (KPK) is one of the children of the Reformasi, founded as part of the reform era in Indonesia, due to rampant corruption in all areas of life. Therefore, based on Article 43 of Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 concerning the eradication of corruption crimes, Law No. 30/2002 concerning Corruption Eradication Commission was issued and the commission has been authorized to perform its duties starting December 27, 2002.
This institution was founded because eradicating corruption in Indonesia was very difficult, besides the fact that the eradication efforts were not optimal. The establishment of the KPK was also based on the fact that government institutions’ efforts in corruption eradication did not work effectively and efficiently. The eradication of corruption must be intensified professionally, intensively, and continuously because corruption has harmed the state’s finances and the economy, and has impeded national development. Corruption in Indonesia had become increasingly widespread and contaminated countless state elements including the executive, legislative and judiciary institutions. Corruption is not only detrimental to the country's finances, but it also has violated the social and economic rights of the people, hence it was categorized as an extraordinary crime.

2. The Independence of the KPK from Other Institutions
The concept of independent state institutions is a state institutional paradigm in a modern state. This is suggested by the dynamics of state administration in several countries that divide power not only in executive, legislative, and judicial powers, but also in an emerging "fourth" branch of power which is conceived separately from the other three. Bruce Ackerman states that a new concept has emerged from the distribution of power in the United States’ constitutional system. He explains that power in the United States is not only supported by three branches of power. According to Bruce Ackerman, the United States is supported by at least five branches of power, and one of them is independent institutions. From the explanation above, it can be inferred that in a modern state, independent institutions can be categorized as either the fourth branch of power or a new branch of power.
The Constitutional Court in its ruling No. 36/PUU-XV/2017 specifies the conditions on which a state institution is categorized as independent, namely
1. Its independence status is expressly stated in the legal basis for its establishment, whether in the constitution or a law;
2. The appointment of its board of leaders is performed by more than one institution;
3. The termination of its leaders may only be made on the grounds set forth in the law that is the basis for its establishment;
4. The President is limited from freely using his discretionary decisions to terminate its leaders; and
5. Leadership is collective in nature and the leaders' terms do not end simultaneously, but consecutively.
If the criteria above are used to analyze the KPK, then it meets the criteria as an independent state institution.
First, regarding the independence of the KPK, it is clearly stated in Article 2 of Law No. 30/2002 concerning the Corruption Eradication Commission, stating that the KPK is an independent institution free from interference of any power.
Secondly, the KPK is established not by the executive power alone, but by the first two branches of power as the selection is carried out by the Government but will only become definitive if agreed by the DPR. This refers to Article 30 Paragraph (1), which explains that the commissioners of the KPK are elected by the DPR from the candidates proposed by the President, hence there are two parties involved in the formation of this state institution, not the absolute wish of the executive (President).
Third, regarding the reasons for terminating KPK commissioners, Law No. 30/2002 Article 32 Paragraph (1) requires the following for termination: a) they die; b) their term of office expires; b) they become a defendant in a criminal case; c) they are permanently disabled or continuously unable to perform their tasks for more than three months; d) they step down; or e) they are punished under the KPK Law. Beyond these reasons KPK commissioners cannot be terminated unilaterally.
Fourth, in case of termination, the President cannot unilaterally terminate KPK commissioners like the President can terminate his ministers. The president can terminate KPK commissioners only if they are considered meeting the conditions mentioned above, even in this case the President’s role is merely ratifying the result.
Fifth, KPK commissioners work collectively, meaning there is no higher position among the them. Article 21 Paragraph (6) also states that KPK commissioners perform their tasks collectively. Besides that, the author in the previous sub-chapter also discusses the statuses of auxiliary state organs which are not always part of the executive power as there are also many auxiliary state organs whose characters cannot be categorized in one of them. From the explanation above, clearly the KPK is an independent auxiliary state organ which cannot be classified into any branch of power.
A series of rulings by the Constitutional Court repeatedly state the independence of the KPK, including; a) PMK No. 012-016-019/PUU-IV/2006, dated December 19, 2006; b) PMK No. 19/PUU-V/2007, dated November 13, 2007; c) PMK No. 37-39/PUU-VIII/2010, dated 15 October 2010; and e) PMK No. 5/PUU-IX/2011, dated June 20, 2011. The independence of the KPK in Indonesian constitutional system can still be traced from more than ten other Constitutional Court's rulings. However, those rulings generally affirm that: 1) the establishment of an institution such as the KPK can be considered constitutionally important and the existence of state commissions such as the KPK is a common thing; 2) the institutional nature of the KPK is law enforcement agency against corruption; 3) the KPK is an independent state institution that in performing its duties and authority is free from interference of any power; 4) the KPK is an independent state institution that is given special duties and authority to, among others, perform some functions of judicial authority to conduct preliminary investigation, investigation, and prosecution and to supervise the handling of corruption cases by other state institutions; 5) the leadership is collective and the leaders’ term of office (can) expire alternately (staggered terms).
The theory of state administration and the records of the Constitutional Court's rulings above are the main reasons for maintaining and strengthening the KPK's position as an independent institution. Recent discussions in various media assert that the KPK is an ad-hoc institution whose presence is only temporary in preventing and eradicating corruption in Indonesia. Such perspective is extremely weak, because the KPK Law itself does not explicitly state that the KPK is an ad hoc institution. In the spirit of eradicating corruption, Indonesia has for a long time shown it in MPR Decree No. X/MPR/1998 concerning State Administrators that are Clean and Free from Corruption, Collusion and Nepotism, followed by MPR Decree No. VIII/MPR/2001 concerning Recommendations on the Policy Directions of Eradication and Prevention of Corruption, Collusion, and Nepotism. Meanwhile, internationally the United States International Convention against Corruption (UNCAC) also states that each participating country is given the obligation to form a special institution to combat corruption.

3. The Legal Basis of KPK
The Corruption Eradication Commission (KPK) was formed based on Law No. 30/2002 concerning the Corruption Eradication Commission, with the primary purpose of improving the effectiveness and efficiency of efforts to eradicate criminal acts of corruption. The KPK is independent and free from the influence of any power in performing its duties and authorities. The commission was founded based on No. 30/2002 concerning the Corruption Eradication Commission. When exercising their powers, the KPK must follow five principles: legal certainty, transparency, accountability, the public interest, and proportionality. The KPK is responsible to the public and must deliver its reports openly and periodically to the President, the House of Representatives (DPR), and the Supreme Audit Board (BPK).
The KPK is led by five commissioners, one as chairperson and four as deputy chairpersons. Commissioners hold office for four years and can be re-elected
for one further term. In making decisions, the commissioners work collectively.
The legal status of this commission is expressly determined as a state institution that in performing its duties and authority is independent and free from the influence of any power. The KPK is formed with the primary purpose of improving the effectiveness and efficiency of existing efforts to eradicate criminal acts of corruption. In the course of performing its duties and authority, the KPK holds on to principles of: (a) legal certainty; (b) transparency; (c) accountability; (d) the public interest; (e) proportionality.

4. Independence in Regulating Internal Affairs
Internally the KPK then arranged the structure within the institution with several regulations it has issued:
a. Regulation of the KPK No. 2/2012
b. Regulation of the KPK No. 6/2012
c. Regulation of the KPK No. 7/2013
d. Regulation of the KPK No. 8/2013
e. Regulation of the KPK No. 1/2014
f. Regulation of the KPK No. 3/2014
g. Regulation of the KPK No. 1/2015
h. Regulation of the KPK No. 4/2015
i. Regulation of the KPK No. 6/2015 concerning Amendments to Regulation of the KPK No. 2/2014 on Guidelines for Reporting and Setting Gratification Status
j. Regulation of the KPK No. 7/2016 concerning Procedures for Registration, Announcement and Examination of State Property Assets;
k. Regulation of the KPK No. 10/2016 concerning Discipline of Employees and Advisors of the KPK;
l. Regulation of the KPK No. 8/2017 concerning Reporting on the Assets of Employees and Advisors of the KPK
m. Regulation of the KPK No. 3/2018 concerning the Organization and Work Procedures of the KPK.

5. Instruments and Indicators of Independence
1) Institutional Design
Article 21 of Law No. 30/2002 concerning the Corruption Eradication Commission (henceforth: KPK Law) outlines that the KPK as an independent institution consists of:
a. Commissioners of KPK
The KPK leadership consists of five commissioners, one as chairperson and four as deputy chairpersons, all are also members at the same time. These five KPK leaders work collectively-collegially and are the highest holders of responsibility in the KPK's organizational structure.
b. Advisory Team
The Advisory Team are appointed by the KPK through a selection mechanism by a selection panel established by the KPK. The Advisory Team functions to provide suggestions and considerations according to his/her specialty within the KPK in the context of the execution of the KPK’s tasks and authority.
c. KPK Staff to Conduct Tasks
The KPK as a state institution commands four deputies:
a. Deputy of Prevention
1. Directorate of State Officials’ Wealth Report, Registration and Examination
2. Directorate of Gratification;
3. Directorate of Education and Public Service;
4. Directorate of Research and Development;
b. Deputy of Enforcement
1. Directorate of Preliminary Investigation;
2. Directorate of Investigation;
3. Directorate of Prosecution;
c. Deputy of Information and Data
1. Directorate of Internal Supervision
2. Directorate of Fostering Networks Between Commissions and Institutions
3. Directorate of Monitoring
d. Deputy of Internal Monitoring and Public Complaint
1. Directorate of Internal Supervision
2. Directorate of Public Complain

2) Autonomy from Politics and Industry
a. Selection of KPK Commissioners
One of the state institutions in Indonesia that has received much attention since its inception is the Corruption Eradication Commission (KPK). Corruption is indeed a crucial problem for every country. It is thus not an exaggeration if Denny Indrayana calls this henous crime as the source of all disasters and crime (the root of all evils).
Therefore, the fight against corruption is often the main agenda in most countries including Indonesia, especially in the post-reform era. Edgargo Buscaglia and Maria Dakolias in An Analysis of the Causes of Corruption in the Judiciary, as quoted by Denny Indrayana, say that the fight against corruption is the main task that must be resolved during the reform period. Because it is impossible to reform a country if corruption is still prevalent. Thus, the KPK was established as a state institution to answer the biggest challenge in eradicating corruption in post-reform Indonesia.
The legitimacy of the KPK is regulated by Law No. 30/2002 concerning the Corruption Eradication Commission133 which is actually mandated by Article 43 of Law No. 31/1999 concerning Eradication of Corruption Crimes. The KPK’s independence is explicitly stated in Article 3 of KPK Law which says that the KPK is a state institution that performs its duties and authority independently, free from any and all influence. Further, in the explanatory notes contained in the KPK Law, "any power" is interpreted as a force that can affect the duties and authority of the KPK or KPK members individually from the executive, judicial and legislative branches, other parties related to corruption, or circumstances and situations or with any reason.
The KPK has five commissioners, one acting as chairperson and four as deputy chairpersons, all of whom also act as members. The filling of KPK leadership positions involves the elements from the government (executive) and the DPR (legislative), each of which plays a role in the recruitment and selection process. This is in accordance with Article 30 Paragraph (1) of the KPK Law which states that commissioners of the Corruption Eradication Commission (KPK) as referred to in Article 21 paragraph (1) letter a are elected by the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR) from the candidates proposed by the President of the Republic of Indonesia.
The recruitment process for KPK commissioner candidates is performed by a selection committee formed by the president. This committee, consisting of elements from the government and the public, is in charge of recruiting candidates from registration until the selection of names of candidates to be submitted to the president. After the committee chooses and determines two times the number of commissioner positions required, namely for the KPK commissioner candidates to be 10 people (twice the KPK commissioner positions consisting of five people) and submit the names to the president, the President will then submit the 10 names to the DPR for a fit and proper test.
In this selection process, the DPR must elect and determine five names of KPK commissioners, and who among the five as one chairperson and four deputy chairpersons who all concurrently serve as members. In the final stage of this selection process, the DPR delivers the elect commissioners to the president to be ratified through a Presidential Decree (Keppres). The chart of the KPK leadership recruitment process can be found as follows:

KPK COMMISSIONERS SELECTION MECHANISM





The same mechanism is applied when submitting a replacement candidate in the event of vacancy of a commissioner position, either because a KPK commissioner has resigned or is dismissed before his term of office expires (4 years). Article 33 Paragraph (1) of KPK Law states that if at any time the office of the Commissioners is empty, the President shall
suggest candidates for replacement to the Parliament, where the procedure for submitting a replacement candidate and the selection of the candidate member concerned is carried out in accordance with the provisions referred to in Article 29, Article 30, and Article 31 (according to the procedure as described in scheme 2).
The issue of KPK commissioners’ selection did not receive a significant portion during the KPK Bill deliberation from 2001 to the end of 2002. The said KPK Bill, which was proposed by the President based on Presidential Letter No. R.13/PU/VI/2001 dated June 5, 2001, indeed mandated that the KPK commissioners to be elected by the DPR based on candidates proposed by the Government. In relation to the formulation in this bill, only three parliamentary factions responded to the roles of the DPR in selecting candidates for KPK commissioners. The National Awakening Faction (FKB) had questioned the extent of the DPR's role in conducting the selection. Even FKB in its general views also proposed that the mechanism for selecting the KPK commissioners should be an internal matter of the DPR commission.
Similarly, Love the Nation Democratic Party (PDKB) faction also questioned whether if the DPR had the duty and responsibility to elect the KPK commissioners, it meant that the KPK was responsible to the DPR, but the the final draft approved by the DPR was apparently in agreement with the initial formulation regarding the selection the KPK commissioners. In its General Explanatory Notes, the KPK Bill confirms that:
"In the process of forming the KPK, no less important is the human resources that will lead and manage the KPK, so that with very broad authority, this Law provides a strong legal basis so that human resources can be consistent in implementing tasks and authority in accordance with the provisions of this Law. The KPK is a state institution that will perform its duties and authority independently, free from any and all influence. The leaders of the KPK consist of five commissioners who concurrently serve as members, all of whom are state officials. The leadership consists of government and community elements so that the supervision system performed by the public on the performance of the KPK in conducting preliminary investigations, investigations, and prosecution of corruption remains attached to the KPK.


Translation education Master's degree - Flinders University, South Australia
Experience Years of experience: 21. Registered at ProZ.com: Jul 2013. Became a member: Aug 2020.
Credentials N/A
Memberships N/A
Software memoQ, Microsoft Excel, Microsoft Word, Trados Studio, Wordfast
Website http://sihapei.hpi.or.id/member/profile/HPI-01-22-4280
CV/Resume CV available upon request
Professional practices Albard Khan endorses ProZ.com's Professional Guidelines.
Professional objectives
  • Meet new translation company clients
  • Meet new end/direct clients
  • Network with other language professionals
  • Get help with terminology and resources
  • Get help on technical issues / improve my technical skills
Bio
I've translated for more than 20 years, working on such diverse topics as law, economics, statistics, religious studies, and scientific journal articles. I also translate book chapters for individual clients.   
Keywords: contract, agreement, leasing, license, Indonesian, English, statistics, business, social sciences, book chapter. See more.contract, agreement, leasing, license, Indonesian, English, statistics, business, social sciences, book chapter, sociology, economics, religious studies. See less.


Profile last updated
May 24, 2023



More translators and interpreters: English to Indonesian - Indonesian to English   More language pairs