This site uses cookies.
Some of these cookies are essential to the operation of the site,
while others help to improve your experience by providing insights into how the site is being used.
For more information, please see the ProZ.com privacy policy.
This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations
This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
Services
Translation, Editing/proofreading
Expertise
Specializes in:
Business/Commerce (general)
Telecom(munications)
History
Media / Multimedia
International Org/Dev/Coop
Tourism & Travel
Rates
Portfolio
Sample translations submitted: 1
Indonesian to English: Minutes of Consultation Workshop on the theory and practice of alternative development models General field: Social Sciences Detailed field: Government / Politics
Source text - Indonesian Notulen
Workshop Konsultasi tentang teori
dan praktek model pembangunan alternatif
Jogjakarta, 2-3 Nopember 2010
Acara dibuka oleh Marsen Sinaga. Marsen mengucapkan banyak terima kasih kepada peserta yang sudah datang di tengah situasi bencana yang sekarang tengah terjadi. Harus ditekankan bahwa workshop kali ini dilaksanakan dalam situasi yang memperihatinkan.
Marcen menunjukkan draft proses workshop yang juga mencantumkan tujuan workshop. Sebelum masuk ke dalam alur, Marcen mengajak untuk berkenalan dengan menyebutkan nama, asal lembaga, serta concern lembaga.
Konsultasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan beberapa contoh alternatif yang sebenarnya sudah dilakukan di tingkat komunitas dan riset yang bisa menjadi masukan bagi DnP dalam merumuskan program mereka 5 tahun ke depan. Visi DnP bukan diturunkan secara deduktif secara gagasan melainkan karena adanya kepercayaan bahwa dunia yang berbeda sudah diupayakan di banyak tempat. Alternatif-alternatif itu ingin dibuat lebih universal dan menjadi kekuatan bersama untuk melawan kapitalisme.
Metode workshop yang digunakan adalah sistematisasi pengalaman. Ada dua bagian besar yang akan didiskusikan, yaitu teori dan praktek. Berkaitan dengan teori, masing-masing lembaga melakukan penggalian analisis dan teori yang dihayati sebagai latar belakang upaya-upaya pembangunan alternatif atau perlawanan terhadap globalisasi baik di tingkat komunitas maupun riset. Dan kaitannya dengan praktek, setiap lembaga mengidentifikasi strategi yang dipilih dalam mengerjakan alternative, mencakup isu pilihan, isu pendekatan dan cara kerja. Bisa jadi, analisisnya sama tapi alternatifnya berbeda begitu juga sebaliknya. Praktek-praktek alternatif didiskusikan terlebih dahulu, teori akan dicari kemudian. Metode sistematisasi pengalaman semacam dengan rekonstruksi histories. Setiap lembaga mengkaitkan juga dengan alur sejarah lembaga yang didalamnya terjadi try and error.
Poin-poin yang bisa disampaikan dalam sistematisasi pengalaman setiap lembaga
1. Isu-isu yang dipilih untuk digeluti
2. Cara kerja yang dipakai
3. Target group, actor/pelaku. Pilihan aktor/pelaku bisa menentukan warna isu dan cara kerja.
4. Alasan yang mendasari pilihan. Salah satunya analisis situasi sosial
Presentasi Lembaga
DnP
Presentasi DnP menggunakan benang sejarah. Di atas benang merupakan pilihan strategi, pendekatan dan aksi. Sedangkan di bawah benang adalah alasan pilihan. Periodisasi waktu yang dipilih adalah tahun 80-an sampai 2010.
Pada tahun 80-an, pendekatan atau strategi kerja yang dipilih adalah pendekatan proyek atau kegiatan. Pada periode ini, Proposal yang masuk paling banyak masuk dan semua itu hanya dipandang sebagai proyek. Tidak melihat integrasi. Sifatnya hanya responsive. Tidak ada gagasan. Pendekatannya proyek, kegiatan dan sifatnya responsive. Cara itu dipilih karena cara pandang yang diyakini adalah semakin banyak orang miskin yang dibantu maka semakin baik. Semua hal diberi untuk semua orang. Alasan lain adalah karena musuh bersamanya jelas: rezim dictator yang harus ditumbangkan. Pada masa itu peta konsliknya sangat jelas, mana yang harus dilawan, mana yang harus didukung. Selain itu, alasannya karena mereka punya uang yang sangat besar.
Sesudah runtuhnya dictator besar, sudah tidak ada musuh bersama sehingga merebak isu yang sangat banyak. Front untuk melawan rezim terentu sudah tidak ada karena sudah mengarah ke demokrasi. Strategi kerja berubah lebih programatik dan cara berpikirnya lebih proaktif. Dengan banyaknya isu, DnP memilih prioritas isu yang benar-benar yang bisa dipengaruhi dan bisa menghasilkan perubahan. Pada masa ini, DnP mengembangkan RPM, lebih berorientasi pada hasil. Nilai uangnya lebih rendah.
Ke jaman sekarang ada kesadaran baru bahwa lembaga harus belajar. Maka dikenalkanlah pendekatan Sistematisasi Pengalaman. DnP sadar bahwa mereka harus belajar dari mitra yang benar-benar bergulat untuk mendorong perubahan sosial. Semangat dasarnya, selain memilih isu yang paling bisa dipengaruhi tapi juga mendengar pengalaman dari mitra. Pada masa ini, kita dibanjiri banyak informasi tapi bukan pengetahuan. Oleh karena itu, pengalaman mitra sangat penting untuk menjadi semangat dasar. Selain learning, juga share. Semangat dasarnya adalah keterbukaan, mendengarkan dan berbagi untuk mendapatkan semangat perubahan sosial. Dengan mendengar pengalaman mitra, DnP bisa melihat apakah selama ini DnP sudah mendukung perubahan atau belum.
Yang dipakai DnP sebagai posisinya adalah posisi orang miskin, yaitu orang miskin yang terorganisir melalui pendidikan popular. Yang diharapkan adalah orang miskin yang kritis, bukan yang meminta.
Gerakan pengorganisasian akar rumput sangat penting dan digunakan sebagai alat perjuangan. Mengingat pengaruh liberalisasi sampai ke akar rumput.
Respon DnP locally in Canada against dicatator
Di Canada ada system pendidikan rakyat. Misalnya ketika mereka mendorong pemerintah untuk mengontrol perusahaan tambang di luar Canada. Mereka juga sudah menggolkan RUU ke parlemen tentang kontrol pertambangan. DnP memiliki anggota lebih dari 15.000 pendidik yang mengajar rakyat dan memberikan advokasi. Membangun Canada sangat penting dalam rangka melawan liberalism. Ada semangat dasar bahwa sebenarnya musuh di Indonesia dan di Canada sama.
SERIKAT PAGUYUBAN PETANI QT, SALATIGA
Pada tahun 1992, kelompok-kelompok petani yang memiliki usaha pertanian organik membentuk Paguyuban Kelompok Tani Berkah Alam. Paguyuban berkembang ke desa yang lain karena masalah yang sama juga dihadapi oleh desa yang lain. Termasuk ketika melakukan advokasi kebijakan untuk kepentingan irigasi. Kemudian dibentuk Serikat Paguyuban Petani pada tahun 1999 yang isu utamanya adalah kedaulatan desa. Agenda-agendanya selalu dalam rangka mewujudkan desa yang berdaulat. Beberapa programnya adalah menginisiasi Perdes batas wilayah dan Perdes mengenai Konservasi. Dengan adanya dasar hukum mengenai batas wilayah, kedaulatan desa menjadi jelas. Perdes statusnya tidak di bawah perda yang lain. Adalan program SPPQT adalah IOF, integrated organic farming. Yang paling utama bukan dari sisi teknologi melainkan kedaulatan petani atas sumber daya produksi.
SPPQT juga melakukan penguatan keluarga buruh migrant dengan membangun alternative usaha di tingkat keluarga sehingga bisa menguatkan desa. Kegiatan yang dilakukan adalah musyawarah, rembug, kongres, rapat umum anggota paguyuban.
Melihat sisi pendidikan, anak petani harus belajar dengan konteks kelokalan bukan di sekolah yang berpikir dengan logika dagang. Kemudian SPPQT membangun komunitas belajar yang tidak tergantung dengan apapun dan siapapun melainkan pada desanya sendiri. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sendiri yang berpijak pada kehidupan lokal. Metode yang dipakai adalah learner centered, berpusat pada pembelajar. Sehingga walaupun anak-anak tinggal di desa, mereka mampu menghasilkan gagasan orisinil. Inilah bentuk kedaulatan desa yang secara keseluruhan, yang benar-benar membangun daya resisten desa.
Pada tahun 2002-2004 adalah generasi kedua SPPQT. Fokus pengorganisasiannya pada petani miskin/petani penggarap. Hal itu merupakan hasil koreksi layanan organisasi sebelumnya yang dinilai tidak tepat sasaran dan kritik terhadap pertanian organic karena basisnya harus memiliki tanah. Pada fase ini memasukkan focus program reforma agraria; akses dan kontrol terhadap alat produksi khususnya tanah.
Pada periode 2008, SPPQT mulai menegaskan penerjemahan posisi SPPQT terhadap perempuan. Strateginya, dibuat group di semua level yang semua anggotanya adalah perempuan.
Yang menjadi dasar lembaga adalah petani penggarap. Ini penting agar tidak terjebak dengan program-program yang mengatasnamakan pemberdayaan.
Semangat melakukan pertanian organik adalah warga desa membutuhkan makanan yang sehat, terutama anak-anak. Organisasi tidak bermain-main dengan harga. Penanaman padi organic berdasarkan pada kebutuhan akan makanan sehat, bukan hanya berdasarkan harga komoditi itu.
Yang mendasari SPQT mengorganisir perempuan karena kenyataannya perempuan punya peran yang besar di aspek produksi dan konsumsi. Yang terlupakan oleh gerakan perempuan adalah melihat masalah perempuan di produksi dan konsumsi. Perempuan paling berkuasa di ranah konsumsi. Karena juga menilai pentingnya peran perempuan di produksi, organisasi menggerakkan perempuan untuk punya alat agar bisa berperan di ranah itu. SPPQT tidak hanya menggerakkan perempuan untuk tidak melihat relasi perempuan dan laki-laki tapi yang lebih dalam lagi; produksi, konsumsi dan politik.
Yayasan Pendidikan Rakyat Indonesia (YPRI)
Pada tahun 2006, pasca gempa Jogja, YPRI melakukan penataan ulang dari sisi Human resources, metodologi dan lapangan. Karena tidak punya wilayah dampingan, YPRI memulai kegiatannya di daerah korban bencana gempa. YPRO kemudian melakukan upgrading fasilitator. Di situ dicek kembali knowledge, skill, dan paradigma, serta apa saja yang sudah dihasilkan selama 10 tahun di desa terutama petani. Didapatkan tidak ada perubahan. Upgrading dilakukan setiap 3 bulan dan jumlah fasilitatornya menyusut hingga 15 orang. YPRI punya tiga kata kunci; tata kuasa, tata kelola dan tata guna yang ternyata penerjemahannya sulit dilakukan pada saat melakukan pengorganisasian langsung di masyarakat. Sulit menentukan titik mulainya. Hal ini terjadi karena banyak fasilitator yang sangat bias project. YPRI mempersempit isu kedaulatan desa ke 4 pilar; pangan, energi alternatif, pendidikan, dan kesehatan. Para fasilitator yang dididik dikumpulkan dalam sekolah transformasi social perdikan dan desa yang didampingi dinamakan desa perdikan. Sejak tahun 2007, rencana ini dimatangkan.
Tahun 2008 merupakan masa kegelapan. Ada yang harus bekerja selama berbulan-bulan tanpa hasil. Internal YPRI berfungsi sebagai support system bagi funding juga teman-teman di lapangan. Di kalangan fasilitator terjadi turn over yang sangat tinggi. Perdikan menghadapi persoalan perubahan orientasi dari fasilitator yang sudah menikah. YPRI mendorong fasilitator untuk hidup di desa perdikan dan akan disupport. Selain itu, YPRI masih mencari-cari pendekatan dan isu ke desa. Masyarakat desa sudah terbiasa dengan proyek. Ada tantangan pergeseran budaya masyarakat desa.
Tahun 2009, YPRI lebih realistis; tidak merekrut fasilitator baru tapi mengajak teman dari desa bersangkutan untuk menjadi organizer dan fasilitator. YPRI mendorong untuk semua fasilitator untuk menaman sayur-sayuran di rumah dan menyediakan benih untuk tetangga. YPRI merubah metode upgrading di dalam kelas ke desa. Setiap tahun upgrading dilakukan secara bergilir di desa-desa. Metode ini bertujuan untuk mempercepat proses.
Awal tahun 2010, dari 8 desa perdikan, 3 desa sudah ontrack; Andong Boyolali yang focus ke ternak dan posyando, Ngandong Klaten yang sedang didorong untuk mengembangkan good governance di tingkat desa, Sendangsari yang isunya adalah pangan lokal umbi-umbian dengan pendekatan ke sekolah. YRPI mempertahankan local wisdom dengan tetap mengorganisir desa di pantai selatan dengan kekhasannya mengerjakan pertanian lahan pasir.
Pada tahun 2010 ada diskusi mengenai masalah-masalah yang dihadapi dan badan hukum; apakah tetap menggunakan yayasan atau koperasi.
Desa yang dipilih adalah yang pernah punya sejarah dengan YPRI, mitra tani dan insist, serta mempertimbangkan variasi desa.
YPRI mengkaitkan pengorganisasian dengan ekonomi
Keberpihakan terhadap perempuan sering luput. Masih ada gap pengetahuan mengenai gender antara fasilitator senior dengan fasilitator muda. Fasilitator senior terus mendampingi fasilitator muda, baik formal maupun informal.
Pembicaraan mengenai perempuan, ranahnya harus lebih luas daripada ranah relasi laki-laki dan perempuan. Ranah produksi, konsumsi, dan politik tidak terbaca sebagai masalah perempuan. Tantangannya adalah bagaimana mendorong keadilan tanpa menggunakan istilah-istilah gender. Ini sangat bergantung pada kemampuan fasilitator. Alat analisis mengenai gender harus diperluas.
PERHIMPUNAN SOLIDARITAS BURUH
• 1996 - 1998 mendorong pembentukan prganisasi di tingkat masyarakat khususnya buruh dengan nama Solidaritas buruh. Alasannya untuk melawan Suharto.
o Isu laten: kesejahteraan buruh karena analisis social pada saat itu, semua organisasi dari parpol sampai ormas berada dalam kooptasi Suharto dan pemberangusan bagi yang tidak ingin dikooptasi.
o Scope pengorganisasiannya di pabrik2.
• Perubahan politik pasca lengser Suharto tidak cepat diantisipasi oleh gerakan buruh. Akan tetapi ada yang positif. Perubahan politik memunculkan kebijakan kebebasan berpolitik
• 1999 Sampai 2002
o melakukan penguatan buruh yang terPHK.
o Melainkan sector buruh dengan sector tani; mendorong kemunculan Pewarta
o Membicarakan juga politik yang lebih luas atas dasar refleksi keterlambatan serikat buruh merespon perubahan politik.
• Tahun 2006
o Memperbaiki manajamen, strategi, dan melalukan strategi
o Tetap menjejaringkan buruh dengan sector lain di tingkat kabupaten dengan membentuk federasi.
o Melakukan pengorganisasian berbasis komunitas untuk mempertahankan keberadaan organisasi rakyat baik masih di pabrik maupun ketika keluar dari pabrik serta bisa memperluas di luar pabrik.
o Strategi
Juga membicarakan isu ekonomi melalui ekonomi praksis, pendidikan dan kesehatan buruh komunitas
Mendorong isu pendidikan dan kesehatan dipenuhi oleh Negara.
o Memasukkan isu kebencanaan karena bisa memperluas pembentukan serikat di tingkat masyarakat. Selain itu, bisa mendorong solidaritas antar komunitas
• 2008-2010
o Kesejahteraan buruh akan menjadi isu yang kuat jika isu-isu yang menyangkut masayrakat banyak juga didorong.
o Melakukan capacity building.
o Merebut posisi strategis agar Negara lebih berperan.
• Perubahan dari yang anti Negara yang fokusnya hanya di pabrik lalu muncul kesadaran bahwa tidak bisa focus pada buruh pabrik dan hanya isu buruh.
• Pengorganisasian buruh juga dimaksudkan untuk mendoorng peran Negara untuk memenuhi kesejahteraan rakyat.
• Ketika PSB berubah dari yang konvensional ke yang mengarah ke komunitas, bagaimana cara mempertahankan ruang hak-hak buruh. Isu kesejahteraan buruh adalah isu laten dan selalu ada. Perluasan isu dan wilayah sebenarnya dalam rangka menghimpun tenaga.
I N F I D
INFID dinilai penting hadir dalam forum ini karena mereka memotret dan melakukan riset atas model pembangunan di Indonesia.
INFID ada karena melihat kegagalan dalam pembangunan, terutama ekonomi pertumbuhan.
INFID melakukan kampanye anti hutang, advokasi, kampanye pembatalan hutang, dan membuat riset people center. INFID melakukan pencatatan atas kerja-kerja inisiatif masyarakat dalam mencapai tujuan pembangunannya.
INFID awalnya bergerak di luar negeri tapi kemudian bergerak di dalam negeri.
Selama ini tidak ada koalisi besar dan solid antar NGO di Indonesia, karena egoism masing-masing NGO. Banyak lembaga yang bernama nasional tadi tidak memiliki basis. Ke-nasional-an akhirnya Cuma Jakarta, Kesolidan yang ada hanya di wilayah dan isu tertentu, menjadi kumpulan secretariat NGO.
Pasca reformasi DnP mendukung organisasi masa tingkat nasional sebagai proses demokratisasi. Sekretariat nasional sangat dibutuhkan yaitu sekretariat nasional yang terdiri atas orang-orang yang benar-benar bergerak di akar rumput dan memiliki kerangka yang kuat. Hal ini banyak terjadi di Filipina, kelihatan kokoh dan besar namun begitu tingkat pimpinannya dikooptasi oleh negara, bangunan bawahnya roboh. Ini karena kerja pengorganisasian dan pendidikan kritis di bawahnya tidak jalan. DnP tidak ingin hal itu terjadi di Indonesia. Menurut DnP, saat ini gerakan di Indonesia terpolarisasi. Bingung mau kemana.
DnP sedang melakukan diskusi dengan sekreatariat nasional yang dia support. Ada kecenderungan basis secretariat nasional itu sangat lemah dan dikuasai oleh elit-elit kelas menengah.
Infid sebagai jaringan nasional diharapkan mampu mengartikulasikan bagaimana memfokuskan kerja untuk hal-hal yang terkait dengan kepentingan masyarakat.
SERIKAT PETANI INDONESIA (SPI)
Latar belakang SPI berasal dari FSPI.
Pada awalnya FSPI dipenuhi oleh kasus-kasus agraria di berbagai tempat di Indonesia. Kemudian tahap berikutnya adalah pembentukan organisasi-organisasi tani di berbagai daerah yang mengkolektifkan persoalan agraria individu menjadi kerja organisasi tani untuk pembaharuan agraria.
Pada periode berikutnya ditambah skema perjuangan melawan neo-liberalisme.
FSPI bergerak kuat di tingkat nasional (Jakarta) tapi di daerah tidak terangkat. Apa yang ada di daerah ternyata tidak bisa terangkat di nasional. Ada refleksi bahwa FSPI hanya kuat di atas saja. Yang di bawah lemah. Maka dibuat SPI yang dideklarasikan di Wonosobo.
Tanah masih menjadi isu yang dominan di SPI.
Merasa sangat penting untuk mengikat elemen yang lain. Massa SPI membutuhkan hasil kajian-kajian dan kerjasama dari NGO lain. Juga terus mendesakan kepentingan di tingkat undang-undang. Ada dua hal yang berhasil yaitu judicial review untuk undang-undang penanaman modal dan undang-undang kesehatan ternak, ada pasal-pasal yang diganti untuk mengacu pada UUPA.
Tiga program utama disusun menjadi dua tahap; penguatan konsolidasi organisasi dan pendidikan massa aksi.
SPI menjalin kerjasama dan aksi dengan unsure massa lain dan mempelopori terbentuknya Asosiasi ekonomi politik Indonesia untuk menandingi lembaga yang memberi masukan dan mendukung pemerintah.
SPI berusaha agar agendanya dijadikan agenda negara.
SPI tidak mengenal pendamping (CO yang biasanya dari pihak luar). Semua pengurus adalah pendamping.
SPI bergerak di sisi eksternal (tetap mendesak pemerintah untuk mengadopsi kepentingan petani) dan dari bawah memperkuat petani (melalui pelatihan) agar mandiri. Strateginya bergerak di advokasi dan penguatan anggota.
Tanggapan
Secara strategis SPI tetap mendesak pemerintah untuk memperhatikan kepentingan petani dan juga mengorganisir komunitas agar mandiri. Yang dipelihara tidak hanya di atas tapi juga di bawah. SPI bisa menjadi embrio untuk secretariat nasional. Yang di daerah tinggal nyambung saja. Tapi yang menjadi masalah adalah bagaimana cara menyambungnya karena selama ini terjadi kesenjangan komunikasi antara yang di daerah dan di Bogor.
Masalah lain adalah belum semua level kepemimpinan dipegang oleh petani. Bukan hanya di Indonesia namun juga di tingkat Asia.
Kerja politik di arena kebijakan negara sangat penting bagi ormas karena akan sangat mendukung kerja pengorganisasian, termasuk pada ekonomi produksi petani.
Tidak masalah aktivis petani menduduki posisi penting di dalam organisasi. Selama tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Tidak perlu ada dikotomi antara petani dan aktivis petani. Karena Ormas yang menjadi pengurus adalah petani.
SPI sangat resisten dengan CO atau LSM karena ada sejarah petani yang menjadi tergantung dengan LSM yang mengatasnamakan proyek. Kalaupun ada orang dari kampus, biasanya hanya penyokong administrasi, tidak bisa menjadi pengurus.
Kepemimpinan oleh petani juga menguatkan keterampilan dan kerja politik petani.
CINDELARAS
Sejak berdiri pada 1998 Cindelaras telah melakukan proses pembelajaran dan melakukan berbagai pendekatan terhadap komunitas. Petani adalah korban telak system neo-liberal yang sangat akut. Apalagi kebanyakan petani tidak memiliki tanah sendiri.
Pada saat petani melakukan reclaiming ternyata banyak petani yang tidak siap menerima dan mengolah tanah itu.
Selain menjalankan pengorganisasian di komunitas petani, Cindelaras juga terlibat dalam merancang hak asasi petani yang diimplemantasikan dalam program perpek dan Lolet
Cindelaras tidak memilih pertanian organic melainkan pertanian sehat mandiri.
Pada tahun 2003 Menggunakan strategi pembangunan CU di tingkat masyarakat dan KUPP (participatory budgeting di tingkatan desa)
Tahun 2006-2008 membentuk soko alit; petani yang sudah mendapatkan pendidikan teknis pertanian organic kemudian berkeliling ke petani. Walaupun tidak didanai, semangat berbaginya sangat kuat.
Tahun 2007 CU di kampong dipindah ke condong catur karena dianggap lebih strategis.
Memberi uang langsung dianggap tidak efektif maka dipilih keuangan kolektif melaui kelompok ternak. Tidak disupport oleh siapapun. Mereka mendidik pemuda sehingga tidak keluar dari kampong
Perempuan melakukan perjalanan yang natural. Mereka menangani proses pasca produksi.
Dengan memusatkan kerja pada 6 komunitas berdasarkan gerakan kedaulatan pangan dan finansial, isu CU dan pertanian organic sangat efektif sebagai alternatif dari bank mainstream yang ada. Gerakan sehat pangan selain tidak menggunakan sertifikasi juga gerakan meluas ke konsumen dan pihak di luar petani. Alternative adalah hal lain yang harus kita ciptakan karena memang sekarang tidak ada pilihan.
Publikasi melalui buku dilakukan untuk memperluas gerakan dan solidaritas.
Keterlibatan akademisi melalui riset dan publikasi merupakan hal penting dalam perjalanan kerja-kerja di komunitas.
Posisi Cindelaras berada di dua kaki; sector finansial dan sektorial.
Strategi di dua level: nasional dan local. Yang nasional seperti di perancangan HAM petani bertujuan untuk gaul dan belajar. Yang lebih banyak mengalami pergolakan adalah keterlibatan di tingkat local.
Pekerjaan rumah dari program-program di komunitas yang telah dilakukan juga masih ada.
Guru petani yang sudah dilatih yang dinamakan soko alit harus bubar karena tersedot ke bencana Aceh. Ini mengakibatkan banyak komunitas petani yang terbengkalai. Dari 32 komunitas menjadi 25. Sekarang concern dengan 6 komunitas. Sisanya tetap tetap disambung dengan program Kompos.
Melakukan pendidikan Perpek selama 5 hari berkeliling di komunitas. Sehingga saat krisis cindelaras terjadi di dalam organisasi, bukan di tingkatan masyarakat yang sudah belajar.
Terbitan cindelaras sangat bermanfaat dan baik. Sebaiknya diteruskan karena tidak semua bisa menerjemahkan globalisasi di tingkat desa dengan bahasa yang membumi.
Yang paling berat adalah pada saat aktivis menjadi bagian penting dari proses pendidikan dan pengorganisasian. Berdasarkan pelajaran yang diambil YPRI, pengorganisasian tidak bisa disambi. Pengorganisasian membutuhkan orang yang day by day ada di basis. Banyak proses pendidikan dan pengorganisasian terbengkalai karena ada proyek-proyek seperti penanganan bencana.
Berbagai problem tidak bisa dipecahkan oleh satu wadah saja.
Dalam kebudayaan membangun peradaban salah satu modal utama adalah tatap muka. Sekarang orang sudah hidup sendiri-sendiri di rumahnya. Ini tantangan besar.
Seberapa jauh alat produksi bisa dikuasai dan bagaimana produksi bisa dilakukan. Tipe masyarakat itu beragam melahirkan persoalan yang berbeda pula. Gerakan di masyarakat jangan sampai hanya menambah kesibukan masyarakat tapi tidak melahirkan perubahan apa-apa.
Kesempatan ada pada perkembangan globalisasi yang justru makin memakan dirinya sendiri hingga orang akan mencari hal-hal yang pernah dimilikinya. Namun tetap, untuk menentukan gerakan untuk perubahan dibutuhkan riset.
Saat ini kita kembali ke community development. Walau begitu tetap perlu melihat persoalan yang lebih besar.
Sampai sekarang peran Negara masih sangat diperlukan. Oleh karena itu perlu melingkupkan aksi komunitas dengan isu besar yang ada di Negara. Sebagian besar lembaga sangat sadar akan hal itu. Tidak cukup kerja di tingkat local saja tapi juga penting untuk mengkombinasikannya dengan kerja merubah struktur.
Pemahaman mengenai community development dan community organizing.
Kerja advokasi yang tidak didasarkan pada kerja basis tidak akan menghasilkan apa-apa. Oleh karena itu kemudian banyak lembaga yang kembali pada kerja pengorganisasian untuk memperkuat kerja advokasi. Kelemahan masyarakat desa adalah seringkali tidak menganggap bahwa desa adalah negara. Saat kita bergerak bersama masyarakat desa seringkali isinya Cuma kegiatan. Perlu ada perspektif bahwa desa juga merupakan negara sehingga isinya tidak hanya kegiatan. Pelatihan dan training harus dihindari karena sangat berhubungan dengan uang.
Community development adalah orang yang didevelop tanpa kesadaran gerak/ politik. Negara dan masyarakat perlu contoh alternatif ketimbang konsep-konsep. Hal ini perlu publikasi hasil-hasil kerja pengorganisasian. Keterbukaan lembaga akan menumbuhkan komunikasi yang lancar sehingga melahirkan inspirasi tentang alternative.
Cindelaras menerbitkan media yang memuat hasil kerja jika sudah benar-benar dilakukan.
Syarat-syarat yang harus dipastikan atas CSR
• Harus dipastikan dana tidak berasal dari perusahaan yang melakukan perusakan lingkungan dan penghisapan terhadap tenaga kerjanya
• Di Canada, yang banyak perusahaan tambang, maka yang dilakukan adalah upaya untuk menggolkan regulasi sehingga pemerintah bisa mengatur perusahaan. Di Canada juga ada Ombudsman yang menerima aduan.
• CSR tidak bebas nilai. CSR hanya dilihat sebagai alat, bukan sebagai strategi utama dalam perubahan social.
• Sangat hati-hati dengan CSR. Ada etika Banding sebagai acuan dalam menerima dana CSR.
• Darimanapun dananya, yang sering menjadi masalah adalah budaya proyek. Ini karena relasi dengan masyarakat juga seringkali tidak jelas.
• Yang harus menjadi strategi utama adalah mengamankan dan menggerakan sumberdaya yang ada di local. Untuk di luar, harus dipastikan dana itu dikontrol oleh organisasi.
Pengintegrasian perempuan ke dalam konteks desa yang berdaulat
• Membentuk serikat pekerja perempuan yang bekerja sebagai penjual sayur keliling di sleman timur utara. PSB mengorganisir 70 penjual keliling. Karena sudah dicatatkan, sayur mereka bisa dijual di daerah perumahan. Petani organic bekerjasama dengan serikat
•
Refleksi dan gagasan
• Harus mau dan saling belajar tidak atas nama proyek.
• Tidak mengkotak-kotakan isu. Isu sangat banyak dan saling berhubungan.
• Integrasi; menggabungkan berbagai aspek. Karena masing-masing punya korelasi.
• Hubungan/jaringan; saling menghubungkan, tidak terfragmentasi antar kelompok.
• Memajukan;
• bahagia
• harus ada cara pandang yang sama antara organisasi dan funding
• harus punya kekuatan financial agar lebih kuat dan tidak bingung ketika ditinggalkan oleh funding.
• Menemukan titik temu antar isu
• Metodologinya double track; internal dan eksternal.
• Kata kuncinya adalah kedaulatan. Kedaulatan pada desa dan kedaulatan stake holders. Mimpi DnP dan mitra adalah sama; berdaulat.
• Penting kita lakukan untuk merumuskan strategi bersama (common strategy).
• Ada keprihatinan kenapa mesti lembaga dana yang memfasilitasi pertemuan ini. Namun kita mendapat konfirmasi bahwa kita tidak sendirian.
Translation - English Minutes of
Consultation Workshop on the theory
and practice of alternative development models
Jogjakarta, 2-3 November 2010
The event was opened by Marsen Sinaga. He thanked all participants for coming to the event amid Mt. Merapi’s increasing eruption activity, which now reached more alarming level.
Marcen presented the workflow of the workshop and outlined the objectives of the event. He then invited all participants to introduce themselves by mentioning their name, organization or institution and their current concerns.
The consultations sought to draw together examples of alternative development models in the community level and research results that would be significant for the DnP and help them formulate and improve their program for the next five years. This was in line with the DnP’s vision and believe that a struggle for better world had already begun in grass root levels all around the world. The alternative models would in turn have to serve as a pathway to fighting against capitalism.
Experiences on developing communities were to be presented during the workshop. They were to discuss and systematize both underlying theories they used in the struggle and real applications of them. Each organization was to present and analyze their relevant theories underlying their community-level resistance to globalization, their research on alternative development, and why they held such belief. In addition, they had to present and identify the practical uses of the theories, their actual strategies, approaches and the workings of the alternative model development. What we expected from the participants was different alternatives with similar approaches and analyses, or the other way round. By hearing and gathering actual experiences of the organizations, we reconciled their history.
Several key points to be presented in the systematization of experience include:
1. The issues selected
2. The workings
3. Target groups and actors, since they can determine the whole issue and the working
4. Reasons underlying the issues chosen.
The Presentations
DnP
DnP outlined its presentation with a line or thread representing the course of history, which spanned from 1980s to 2010. Over the thread lay the strategy, approach and action, while below the line lay the corresponding reasons.
In the 80s, DnP’s approach was project-based approach and strategy. In this period, they dealt with many proposals and viewed those proposals as “projects.” Apart from the availability of funds, the perspective was maintained because they saw the more poor people get helped, the better. During that period, the common enemy was clear: the dictatorship regime that had to be overthrown. The conflicting parties were also obvious. The approach was a responsive one, lacking integration and meaningful involvement in the community.
While the old regime collapsed, and no common enemy around, and democracy was rife, new issues were rampant. The DnP’s strategy was morphed into more pragmatic and proactive, more result-oriented. They carefully selected priority issues which could affect social transformation. At the same time, they distributed less money to organizations.
As new awareness came, they were introduced to systematization of experience approach. They started to learn from its partners which really struggled for change. Not only did they select issues, but they started to listen to actual experience. They let the partners share their thoughts and achievements and challenges. They opened themselves, listened to experiences to capture the spirit of social change in community. By learning from actual experiences, the DnP evaluated whether they had already supported social transformation at all.
As wave of liberalization began widespread in community life, DNP now was challenged to organize the poor and the marginalized members of society through popular education, and they hoped that by educating them, they were all well armed with critical understanding of their position and struggle. In addition, critical education would liberate them from dependence upon foreign aid.
DnP’s Challenges in Canada
Unlike Indonesia, Canada had established people’s education system, which in turn was successful in getting the people’s voices heard in the parliament, and in many cases, changing public policies. A noted example of the successful popular struggle in Canada was when they successfully pushed through a mining control bill in the parliament. The popular education was immediate to learn the Canada’s strategic position in the world in fighting against liberalism and globalization, the two common adversaries that were faced by Indonesia and most of the third-world countries. Now the DnP organized more than 15,000 educators across Canada, who conducted popular education and advocacy in the community level.
Qaryah Thoyyibah Farmer’s Union (SPPQT), Salatiga
In 1992, or in the early stage, groups of organic farmers from several different villages formed Berkah Alam Farmer’s Group to address common challenges among them, most notably irrigation problems. In 1999, Qaryah Thoyyibah Farmer’s Union was established, whose main concern and spirit was village sovereignty. One of its successful advocacy programs was the initiation of Village Law (Perdes) which solved much of village borders and conservation problems. Village sovereignty was secured if clear village borders were set up in a legally binding agreement. Another program was the IOF, Integrated Organic Farming, which sought to secure farmer’s sovereignty over productive resources, not merely over farming technologies.
The Qaryah Thoyybah Farmer’s Union also conducted empowerment activities for migrant workers, one of which was assist family businesses. The member’s voice and concern was openly discussed in the Union’s discussion, congress and general meeting.
In addition, the Union saw education for farmers’s children as critical to countering capitalist, market-based school education. They then formed a community school of their own, set up their own local curriculum, and conducted education for their own children by employing learner’s centered methods of teaching. They maintained that the farmer’s children had to be aware of their local position and roles in the midst of globalization wave and their struggle. Students were encouraged to produce original ideas and not to readily accept prefabricated knowledge. This popular education was much successful as a model and heard by many in the country. And this was a proof of successful village sovereignty as a whole.
Approaching their second generation of the Union during 2002 and 2004, they shifted attention and energy to organizing peasants and poor farmers. This was as a result of long criticism over organic farming which more benefited land owners. In this stage of struggle, they focused on land reform issues, namely access and control over means of production, especially farming land.
2008 saw the Union’s initial approach to women issues. Women played crucial role in village’s production and consumption aspects. While they had played greater roles in fulfilling family’s nutrition, they were encouraged to even play greater role in production and politics. The Union then began setting up groups consisting of purely woman members and they still targeted wives of poor farmers and peasants. Women were to involve in organic farming because they needed healthy foods for their children. They were to trade their products and set the prices not based on the market, but on the ground of the people’s needs of healthy foods.
People’s Education Foundation of Indonesia (Yayasan Pendidikan Rakyat Indonesia or YPRI)
In the post-earthquake period in Yogyakarta in 2006, the YPRI evaluated and rearranged its human resources, methodologies and areas of intervention. They evaluated their 10 years advocacy towards farmers and they saw no significant achievement in their struggle for village sovereignty. They then shifted their work to help victims of Yogya earthquake. At the same time they reorganized their facilitators and upgraded them every three months until there were only 15 left with the organization. The YPRI found its former goals of power share, governance and applicability, hard to translate into meaningful community organization. This was mainly due to the facilitator’s project-based minded approach. They then narrowed their focuses into four key pillars: foods, alternative energy, education and healthcare. They trained their facilitators in a fief social transformation school and named their foster villages, fief villages (desa perdikan). And since 2007, the plan was vigorously implemented.
The year of 2008 saw the darkest episode of YPRI’s struggle. As funding became the main problem, the internal management of the organization was forced to pay wages of ever increasingly disoriented facilitators, those who had to support their families in particular, although the organization had encouraged them to settle in the foster villages and offered supports. Worse, however, several personnel had to do their works for months without receiving payment. Another setback they encountered was the tendency that village society was keener on projects from large NGOs rather than sustainable and sovereign approach of development.
Learning from previous experiences, the YPRI applied more realistic approaches in 2009. They ceased recruiting new facilitators and, rather, invited friends from villages to become organizers and facilitators for their own communities. They also encouraged them to cultivate vegetables and provide seeds for their neighbors. YPRI also changed its method of upgrading their team from class based training to village action. The upgrading and regeneration was done annually.
Beginning in 2010, from 8 fief villages (fostered communities), 3 villages had shown good progress: Andong Village in Boyolali District was successful for its community cattle business and community healthcare system for women and babies (Posyandu), Ngandong Village of Klaten District was encouraged to develop good governance at the village level, and Sendangsari Village focused on its local tuber cultivation for supplying family’s nutrition and gaining independence over ever more expensive rice. The organization also promoted local wisdom on organizing sand-land agricultural societies in the coastal areas southern of Yogyakarta. The YPRI now carefully selected its foster villages. Only those with previous experiences with it were taken into account.
Still in the same year, the organization faced differing opinions over its legal status, whether they continued to work as a foundation or changed it into a cooperative.
While they were beginning to see some better progresses in the fief villages, they also realized that women were insufficiently integrated into the whole struggle at all. They saw a gap of understanding on gender between senior facilitators and the new ones and the senior were encouraged to continually provide assistance to their junior. Facilitators were encouraged to broaden their view and approach on women issues not only in terms of woman-man gender relation. Though the success of handling this important issue was largely due to the facilitator’s skill in conveying messages of equality without using gender terms, analysis on gender should have been expanded in the first place.
WORKER’S SOLIDARITY UNION (Perhimpunan Solidaritas Buruh/PSB)
The Worker’s Solidarity’s presentation was outlined in a list of important points.
• In 1996 – 1998, the Union encouraged the formation of worker’s organization named Worker’s Solidarity to fight Suharto’s damaging labor policies.
o The latent issue was improving workers’s welfare. At that period, all organizations and political parties were co-opted by Suharto’s hands.
o The scope of its struggle was in factories.
o Sudden political overturn was not readily anticipated by worker’s movement. But it produced a positive effect, namely, freedom of political affiliations and works.
o During 1999 to 2002, several activities were conducted:
o Empowerment for layoff workers
o Integrating labor into farming sector and encouraging the formation of Pewarta
o Encouraging broader political involvement to respond to political change
• 2006
o Improving management and rearranging strategy
o Incorporating workers into other sectors in District level to form a federation
o Conducting community-based organizing to defend the existence of community organizations. Workers should align themselves with local organizations in their hometown.
o Strategies
o Coping with economic issues, education and worker’s community healthcare
o Demanding healthcare and better education to the government
o Adding disaster management issue in the work since it encouraged solidarity among communities and formation of worker’s unions.
• 2008-2010
o Ever addressing community issues as a pathway to forwarding worker’s welfare issues.
o Conducting capacity building activities
o Securing strategic positions to demand more government’s role
• Changing focus of intervention, from a factory-based movement to larger-scope movement.
• Worker’s organizing was also meant to demand better community welfare.
• While the PSB decided to address community issues, they held a belief that that way was a strategy to gather support
I N F I D
INFID’s presence was important as they documented and conducted research in alternative development models in Indonesia as well as recorded community’s initiatives for social transformation. Its formation was for the most part due to the failure of development, especially slowed economic growth. It also conducted anti-debt and debt-relief campaigns and advocacy.
INFID initially moved from abroad, but shifted into domestic movement. INFID maintained that there was no solid and major coalition among NGOs in Indonesia because of their own egoism. They did not have real national basis and their workings were very much limited to Jakarta or scattered in other areas.
In the early stage of Reformation era, the DnP supported national organizations which could promote democratization. A national secretariat consisting of people who were truly engaged in grass root movement and had strong ideological framework was thus needed. Not only strong national basis, grass root organizing and critical education had also to be developed. The DnP did not want the Philippines experience to happen in Indonesia. The Philippines once had a seemingly strong national coalition but weakened and undermined in the community level. However, according to DnP, Indonesia’s alternative movements now lost track.
While DnP worked closely with the national secretariat, they sensed a weakening atmosphere as the secretariat was largely dominated by middle-class elites. It was thus INFID’s work to bridge the workings of the local movements and the national base.
INDONESIAN FARMER’S UNION (SPI)
The SPI had once been called FSPI. FSPI dealt with various agrarian cases in Indonesia and formed farmer’s organizations across the country to unite farmer’s struggle. In later stage, they also paid attention to fighting neo-liberalism. There was a strong impression that FSPI was only solid in the national level, not in grass root level, as local issues never arouse and been heard in national level. To address such gap, the SPI was thus declared in Wonosobo.
Land reform remained a dominant issue for SPI, and as they faced more and more challenges, they cooperated with and needed research results of other NGOs. SPI also struggled to push through various bills in the parliament. They also managed to submit several articles of Foreign Investment Law and Animal Health Law to judicial review commission. However, they did not manage to change some articles of Basic Agraria Law in the judicial review.
There were two main programs of the SPI: solidifying organization’s consolidation and mass action education.
SPI also cooperated with other organizations to initiate the formation of political and economic associations in Indonesia to compete with institutions that provided inputs and supported the government. In addition, SPI’s mission was to effectively influence public policies. SPI did not employ any facilitators (COs usually were not part of the SPI), as all officers were facilitators. Not only did they focus on influencing public policies, empowering farmers through trainings also became a priority. SPI’s strategy was advocacy and strengthening membership.
Response
SPI’s main roles were to demand the government to pay more attention to farmer’s interests and organize communities. While the SPI could serve as an embryo for future national secretariat, it also could reach grass root communities. But problems still aroused as meaningful communication between the communities and the headquarter in Bogor had yet to develop. Another challenge, which was also a challenge for similar movement in Asia, was the absence of strong leadership among farmers.
SPI maintained that there should have been no dichotomy between farmers and farmer’s activists since farmers themselves were involved in the organization. SPI was very resistant to COs and NGOs which brought projects to farmers. Thus, farmer’s leadership and their political work had to be encouraged to avoid farmer’s dependence on project-based programs.
Cindelaras
Since its founding in 1998, Cindelaras had learned from experiences and assisted various communities of farmers. Farmers, and landless peasants in particular, were the immediate victims of neo-liberalism. Worse, they were unprepared for land reclaiming. In addition to organizing farmers, Cindelaras also worked hard and was involved in defending farmer’s rights through its Perpek and Lolet programs. Cindelaras did not use organic farming concept, but they chose to implement independent and healthy farming method.
In 2003, Cindelaras introduced Credit Union (CU) system and KUPP system (village-level participatory budgeting) in its fostered communities.
Between 2006 and 2008, it developed soko alit (farmers as educators). Farmers already receiving independent and healthy farming trainings transferred their knowledge to others, and though without payment, they did it vigorously.
In 2007, the CU office was moved to Cindelaras headquarter in Condong Catur because it was more strategic.
Cindelaras believed that providing direct funds to farmer’s community was counterproductive. Therefore, they set up a collective financial body among farmers, for example through investing in communal livestock business, which was independent from outside intervention. The community also educated its youths to stay in the village and help develop it, while women were responsible for post-production activities.
Cindelaras focused its attention to six communities. Its missions were food and financial sovereignty. The CU system served as a successful alternative to the existing mainstream banks. Meanwhile, healthy food movement was rife and affected wider societies. However, other measures needed to be taken into account.
Publishing books and other kinds of publications were deemed important to document and share the organization’s workings in the community, broaden the movement and promoting solidarity.
While Cindelaras also worked to demand farmer’s rights in the national level, challenges were more present in the local level.
There was a setback in the movement when many farmer teachers or community trainers were (or we called it soko alit) transferred to help Aceh earthquake relief. As a result, a number of farm communities were seriously neglected. From the initial 32 fostered communities, the working scope was reduced to 25, and finally was reduced sharply to only 6 communities.
Another critical challenge that they faced was the inadequate personnel who were able to always stand by within the communities. This was largely due to the increasing needs of disaster management workers throughout Indonesia, and as a result, community education and organization was seriously abandoned. Cindelaras maintained that one of the main factors in organizing and developing civilization was through face-to-face interactions. Now that there were many personnel decided to take their own paths, the whole movement faced an even greater challenge because they might have been the ones fully capable of communicating globalization issues to the locals with daily and meaningful language.
Community organization had not only to lead to community activities, but most importantly, changes and full acquisition of production means. Chances and opportunities for alternative development were abundant as globalization consumed itself in its own way and people started to realize their lost. However, research, studies and publications were highly necessary to expand people’s knowledge and information.
People and organizers had also to broaden their views in approaching various issues. Cindelaras insisted that the government’s roles were still much desired to help bring about significant progress, and many organizations knew that well. Consequently, community actions had to be aware of national issues surrounding the government and link their struggle to those issues. By doing so, they helped revolutionize the power structure.
Understanding on Community Development and Community Organizing
Advocacy work had to be sustained by strong organizing work. However, there was a curiosity as local people often discouraged the local village government’s roles. Even worse, they sometimes did not realize the village government as a government at all. While Cindelaras realized that many of its programs had been merely community activities, it now gained a new perspective that activities such as trainings needed to be avoided because they were closely oriented to money. As a result, community development produced communities which were devoid of political awareness and understanding. That is why communication was very needed by both communities and the government to produce inspirations of possible alternatives.
Conditions on receiving CSR funding:
Organizations had to ensure that the funds did not come from companies that committed environmental destruction and exploited of their workforce
In Canada, where there were many mining company operations, the movement was focused on pushing through bills and regulations controlling the mining corporations. There was also a special ombudsman office which received complaints
CSR funding is not value-free. It had to be seen as a tool, not a primary strategy for social change
Be really careful to receiving CSR funding as it implicated ethical problems
CSR funds could dangerously revive project-oriented minds among people
The main strategy had to deal with maximizing potentials within the community, while funds from outside had to be tightly controlled by the organization
Integrating women into the sovereign village context
Forming a small trade union for women who worked as vegetable sellers in north-east Sleman district, which cooperated with local organic farmers. The PSB organized 70 vegetable sellers so that they could sell their farming products to residential areas in the city.
Reflections and suggestions
All organizations needed to learn from each other and avoid project-based programs
All had to realize that many issues were interrelated to each other, so walking on certain issue individually did not work
All had to integrate various aspects and factors
Networking was important. Each organization had to help others in the networking and avoid fragmentation
Advancing and developing
Happiness
Donors and organizations had to hold the same principles and views
There had to be formed financial institutions to sustain the movement when the funding organization left
All sought common ground among different issues
Applied double-track method: internal and external
Sovereignty became the key: village sovereignty and stakeholder sovereignty. Sovereignty was a vision for both DnP and its partner organizations
All had to formulate a common strategy
There was anxiety about the fact that the funding institution was the one which facilitated the workshop. But we all finally realized that we were not alone.
I am a young professional freelance translator and interpreter with three-years of experience. I studied English Education in Sanata Dharma University, Yogyakarta, Indonesia, and the English Language and International Programs of the University of California Santa Cruz Extension, the USA. I have very strong command in English with ITP TOEFL score of 637 as of July 2009.
I began to work on translation in 2008-2009 when I received a translation project from Universitat Berlin, Germany, to translate various interview transcripts from Javanese to English. Since then, I have translated numerous projects from many clients and institutions, including book translation (Indonesia-English) for Gadjah Mada University Press, reports of various NGOs in Indonesia, including KontraS Aceh, K2HAU, Cindelaras Yogyakarta, and others. I too have joined several agencies, namely, TransPerfect and Internation Inc., both are NY-based agencies.
As for interpreting, my work includes simultaneous interpreting for regional workshop on Eearthquake Relief in Gadjah Mada University and consultation and workshop with Development and Peace, a Canadian NGO, and the most recent was simultaneous interpreting for a sport training for disabled people held by US Embassy in Yogyakarta.